Bab 17

230 42 2
                                    

Membunuh Raja.
Tugas Putra Mahkota.
Dasar durhaka.

   HANTAMAN MENDARAT BEGITU keras mengenai pilar batu di dekat Putra Mahkota berpijak. Namun, bukan pemuda itu yang melayangkannya, melainkan Stevan.
"Jangan bercanda!" Raung penyihir itu.

Sigismund dan Alex hanya balas meliriknya tanpa berkomentar apa-apa.

Di sisi lain, sang pangeran menunduk. Satu tangannya terlipat, satunya lagi memegangi pelipis. Ia sedang berpikir. Tapi yang mengejutkan adalah, pemuda itu tidak terpukul sama sekali, apalagi frustasi. Melihat hal itu, Freya jadi heran.

"Bagaimana?" Sigismund menagih kesepakatannya.

Hening sejenak. Lalu tak lama kemudian, terdengar suara dehaman yang rupanya berasal dari sang pahlawan.
"Apabila Putra Mahkota menolak tawaran ini, apakah kau dan faksimu akan melakukan pemberontakan?" Sela Freya.

Sebagai jawaban, Alex mengangguk.
"Benar. Kami akan menggulingkan pemerintahan dan merubah sistem Kerajaan ini menjadi Kesultanan."

"Wow, kalian terus terang sekali. Yah jujur saja, kalau aku sih lebih suka sistem monarki konstitusional seperti sekarang ini." Gadis itu melambaikan tangan dengan enteng.

Alex balas terkekeh.
"Aku menghargai pendapat dan pandangan politikmu. Ditambah lagi, di situasi seperti ini tidak ada gunanya berbohong. Lagipula toh sudah menjadi rahasia umum."

Putra Mahkota menghela nafas panjang. Ia lalu menegapkan posturnya. Tampak sekali ia sudah mendapatkan jawaban dari kesepakatan yang ditagih dari sang pendeta, ah bukan, si penyihir tua.

"Tidak bisa."

Semuanya menoleh menatap sang pangeran.

"Tidak bisa." Pemuda itu mengulang jawabannya. "Sejak awal, faksi kami tidak memiliki visi untuk berperang dengan kedua belah pihak. Jika kalian ingin sekali menggulingkan pemerintahan, lakukan saja sendiri. Jangan bawa-bawa kami."

  Adelaide menghela nafas lega. Ia tampak puas dengan jawaban itu, berbeda dengan dua orang musuh yang berdiri di depan mereka.

  Sigismund menghela nafas, kecewa.
"Sayang sekali. Kalau begitu negosiasi kita berakhir sampai disinー"

  "Tidak!" Teriak Stevan tak terima. "Pembicaraan kita belum selesai!"

  Alex balas menatap kakaknya dengan begitu dingin. Begitu pula ayahnya.

  "Kau, apa yang salah denganmu?! Kenapa kau menurut pada pria yang sudah membuang kita dari kuil! Kau sudah di cuci otak, hah?!" Ia meraung murka kepada saudara kembarnya sembari mengarahkan telunjuknya ke arah si penyihir tua.

  Alex berjalan mendekati kakaknya.

  "Jangan mendekat!" Teriak Stevan. Tubuhnya mematung, tak mampu bergerak se inchi pun. Bukan karena sihir, melainkan ia getir dan takut.

  Langkah Alex terhenti tepat dua jengkal di depan saudara kembarnya. Ia lalu mendekatkan kepalanya ke arah daun telinga milik sang lawan bicara.
"Satu-satunya yang salah itu kau, Stevanus Mathew." Bisiknya tajam.

Stevan tampak berkeringat dingin. Peluh menetes dari dahinya. Padahal suhu di dungeon sama sekali tidak gerah ataupun pengap.
"..A-apa?" Kalimatnya bergetar.

Alex berbalik dan berjalan kembali ke posisinya, yakni berdiri persis di sebelah ayah mereka.

"Apa maksudmu?!"
Stevan menuntut penjelasan dari adiknya, namun rupanya Alex tidak memberi jawaban lebih dari itu.

"Sudah cukup dengan acara reuni keluarga yang konyol ini. Kami harus pamit." Ujar Sigismund.

Stevan menggigit bibir. Ia membuang wajahnya, berusaha menyembunyikan matanya yang mulai berkaca-kaca.

Duchess Past Is An OtakuWhere stories live. Discover now