Bab 29

129 22 1
                                    

Memacu kuda!
Ini adalah perang!
Maju tak gentar!

SEMINGGU SEBELUM ITU, Stevan melesat terbang menuju Phlegon House, tempat Putra Mahkota dan faksi netral berada. Ia bermaksud menghadiri pertemuan yang akan berlangsung dalam beberapa jam lagi.

  Dengan sapu sihirnya, ia melesat cepat mengarungi dinginnya malam. Hari itu badai sedang berlangsung, sehingga saat kau berada di ketinggian tertentu, juga dengan kecepatan tertentu, jari-jarimu boleh jadi membeku. Namun, hal itu tidak menghentikan niat Stevan untuk pergi.

  Belum juga sampai, dari kejauhan, pemuda itu melihat kobaran api yang menyulut dari berbagai penjuru. Ditengah hujan deras, mustahil api tidak padam. Karena dirundung rasa penasaran, Stevan pun menurunkan ketinggiannya dan masuk kedalam mode menghilang.

  Betapa terkejutnya ia ketika mendapati pemukiman desa hangus terbakar. Rumah-rumah kayu itu dilalap api, jerami-jerami dan juga sawah pun bernasib malang nan mengenaskan.

  Tidak jauh dari situ, tepatnya di sebuah lapangan luas di tengah hutan pinus, terjadi pertumpahan darah maha akbar.

  Barulah Stevan menyadari bahwa dirinya sudah terlambat.

  Pasukan kavaleri kerajaan menghunus tombak mereka. Panji-panji dikibarkan. Kuda-kuda gagah itu membawa para kesatria dan penyihir beradu di medan perang, mempertaruhkan nyawa mereka.

  Sekitar satu batalion pasukan sudah habis menjadi tumpukan mayat. Tidak bisa diidentifikasi lagi mereka dari divisi mana, sebab lawan mereka adalah senjata Magitech.

  Ya benar, Magitech. Kepanjangan dari Magic Technologyーsebuah senjata yang memakai sumber daya mana. Bentuknya seperti meriam, namun wujudnya lebih kerucut, mirip seperti cangkang kerang. Di tengah-tengahnya terdapat bola kristal yang bersinar dan mengeluarkan aliran petir. Siap menyulut tembakan sihirnya kapan saja.

Stevan tahu betul siapa lawannya. Faksi kontra.

Ia lantas merapal sebuah mantra, bermaksud untuk meledakkan Magitech itu. Namun, ketika ia melakukannya, sebuah penghalang tak kasat mata mementalkan serangan tersebut. Nyaris saja mengenai Stevan. Jika penyihir itu tidak segera bermanuver dengan sapu sihirnya, barangkali momen barusan sudah menjadi senjata makan tuan.

"Sial!" Pemuda itu mendengus.

Menyadari kejanggalan yang terjadi, para penyihir dari faksi kontra mendongak. Mereka lalu merapalkan sihir pematah kamuflase. Secara instan, Stevan pun muncul ditengah-tengah medan perang. Tepatnya diatas langit, persis diantara para kesatria dan penyihir. Pertarungan mereka seketika terjeda.

  Stevan menggigit bibir. Bukan kemunculan seperti inilah yang ia harapkan.

Lihatlah ia, kikuk diantara dua belah pihak, baik kesatria maupun penyihir. Mereka semua sama-sama menatap Stevan dengan tatapan sengit. Memang benar seharusnya ia tidak terlibat dengan pihak manapun, meski begitu ia tidak sudi berada di pihak yang sama dengan adiknya maupun ayahnya.

  Kali ini saja, untuk menunjukkan bahwa dirinya berada dibawah loyalitas kerajaan, Stevan berseru,
"Sesungguhnya aku tidak terlibat dengan para teroris ini! Aku mengutuk siapa saja yang memberontak pada Paduka Raja!"

Tentu saja para kesatria tidak mempercayai kata-kata Stevan.

  "Berikan aku pedang! Aku bersumpah akan bertarung bersama kalian!" Lanjutnya dari atas sana.

"Percuma, bung!" Teriak seorang pemuda bersurai merah. Dilihat dari seragamnya, jelas ia merupakan seorang prajurit kerajaan berpangkat mayor. Dengan cekatan, ia menarik pelatuknya dan menembak tepat sasaran kearah jantung salah satu penyihir pasukan faksi kontra. Setelah jeda yang dibuat Stevan, perang kembali meletus karena tembakan itu.
"Bagaimana bisa kami memberimu pedang sementara kau diatas sana?"

Si surai merah benar. Stevan pun turun mendaratkan diri ke dekat pemuda itu. Ia lantas menyihir sapu sihirnya untuk pergi mencari tempat parkir, lalu pemuda itu juga memasukkan tongkat sihir miliknya kedalam kantong.
"Aku tidak akan menggunakan ilmuku disini. Aku akan bertarung dengan senjata, sama seperti kalian. Aku bersumpah mengabdikan jiwa ragaku untuk Kerajaan Roxannia."

Sang mayor tersenyum miring.
"Secara normal, kami akan menyuruh penduduk sipil untuk tidak ikut campur dan mengungsi ke tempat yang aman. Namun rupanya kau bukan penduduk sipil biasa." Balasnya.
"Aku tahu siapa kau. Tapi, untuk saat ini kita sudahi dulu basa-basinya. Kalau kau ingin membersihkan namamu, serang habis musuh kita. Musnahkan. Ini perintah."

Belum sampai Stevan menyanggupinya, sang mayor berambut merah itu sudah mewanti-wantinya lagi,
"Dan, jika kau berani berkhianat, aku akan mengeksekusimu disini. Sekarang juga."

・・・

  Perintah pun dilaksanakan Stevan. Meski dengan paksaan, ia tidak merasa bahwa dirinya terpaksa. Sebab, ini akan menjadi kesempatan terbesar ia untuk membersihkan nama buruknya.

Mayor bersurai merah itu lantas memberikan pedang kepada Stevan.

  Yang menjadi masalah adalah, Stevan tidak mahir bertarung menggunakan pedang. Ingat! Perlu digaris bawahi, tidak mahir bukan berarti tidak dapat bertarung.

Penyihir itu pun melepas jubah hitamnya. Ia menggenggam erat pedang yang baru saja diberikan oleh sang mayor. Pedang tersebut tampak berat dan tajam. Besi pipih itu memantulkan refleksi wajah Stevan yang sedang berkeringat dingin.

"Bergabunglah dengan pasukan infanteri. Aku tidak melarangmu untuk menggunakan sihir. Akan lebih baik jika kau bisa melontarkan serangan sihir beruntun bersamaan dengan permainan pedangmu." Perintah sang mayor.

  Stevan mengangguk.
"Baiklah." Setujunya.

  "Bagus. Sekarang, pergilah!"

Stevan pun memberi hormat dan bergegas lari menuju garda depan.

Dengan senjatanya yang baru, ia mengayunkan pedang kearah penyihir yang berpapasan dengannya. Penyihir itu cekatan menghindar dan membalasnya dengan serangan sihir. Stevan yang tahu mengenai rapalan itu lantas merapal sihir elemen yang berlawanan. Pedang yang ia gunakan bercahaya merah terang, energi itu lalu ia lepaskan. Sihir Stevan dan penyihir yang dilawannya pun bertabrakan.

  Terjadilah ledakan.

  Pemuda itu terkejut. Ia baru menyadari akan fenomena ini. Selama ini Stevan tidak tahu mengenai energi sihir yang dapat disalurkan lewat pedang. Yang ia tahu, energi sihir hanya bisa disalurkan lewat tongkat dan bola kristal.

Sepersekian detik kesempatan itu tidak di sia-siakan oleh Stevan. Dengan gesit, ia menyerbu guna menebas kepala penyihir dari faksi kontra. Saat sang pemuda nyaris melakukannya, gerakannya tertahan. Betapa terkejutnya ia ketika menyadari siapa yang berada dibalik tudung itu. Stevan mengenalnya. Yakni seorang pendeta yang kerap mengajarinya ilmu keagamaan semasa ia kecil. Stevan dan Alex bahkan memanggilnya dengan panggilan akrab "Rudy"

  "Rudeus, ada apa denganmu! Kenapa kau bersama orang-orang ini?!" Hardik Stevan.

  Rudeus hanya tersenyum tipis, tidak membalas perkataan dari anak didiknya. Lelaki itu berpikir percuma untuk memberitahukannya disini. Stevan tidak akan mengerti.

  "Dimana Alex?! Katakan, dimana dia!" Tuntut Stevan sembari melancarkan tebasan keduanya. Rudeus melompat kebelakang. Jari telunjuknya lalu menunjuk keatas langit.

Saat Stevan mendongak, ia mendapati Alex terbang menggunakan sapu sihirnya. Di ketinggian, ia menatap Stevan dengan tatapan dingin.
"Kemari." Ucap Alex kepada Stevan menggunakan telepati.

  "Mari kita selesaikan urusan keluarga ini." Lanjutnya lagi. [ ]

To be continue...

Duchess Past Is An OtakuWhere stories live. Discover now