Bab 24

172 31 8
                                    

Turun ke kota
Semua bahagia
Mana yang salah?

  FREYA MEMEKIK TANPA suara. Jelas ia tidak mau meneguk ramuan itu, sekalipun untuk mengobati kakinya yang sakit. Tapi apalah daya, rupanya syarat agar ia bisa pergi ke kota bersama Stevan adalah; bagaimanapun juga ia harus meminumnya. Jadi, dengan terpaksa, Freya merebut botol itu dari tangan Stevan dengan kasar, lalu menguatkan hati, membulatkan tekad dan memejamkan mata rapat-rapat.

  Glek glek glek
Gadis itu meneguk ramuan dengan susah payah.

  Rasanya sungguh sangat mengerikan. Benar-benar seperti mimpi buruk. Bayangkan saja meminum cairan yang rasanya mirip seperti kemih jembalang. Kuharap kalian belum pernah meminum cairan kemih. (apalagi milik jembalang) Jika kalian belum pernah bertemu jembalang, maka kalian harus mensyukurinya, sebab mereka bukanlah makhluk yang ramah.

Kalau saja keadaannya normal, mungkin Freya sudah berteriak sekarang. Tapi sayang, ia harus menahannya. Yang bisa ia lakukan hanyalah menitikkan air mata.

"Kau berlebihan. Rasanya tidak seburuk itu kok. Lagipula, lihat!" Stevan melirik kearah kaki Freya yang bengkak.

Samar, asap mengepul di daerah yang lebam. Perlahan-lahan sakitnya mulai mereda. Tak lama kemudian rasa nyeri itu pun sepenuhnya hilang. Juga, luka gores di lehernya akibat insiden lalu ikut memudar. Padahal goresan yang ditinggalkan si tua Sigismund sudah kering. Tapi sekarang, luka itu sepenuhnya sembuh. Tak berbekas.

"Mendingan?" Tanya Stevan, nyengir.

"Tidak." Jawab Freya yang masih dihantui rasa dari minuman yang tidak lulus sertifikat halal. Sungguh, ia betul-betul tidak merekomendasikannya.

Stevan mengedikkan bahu.
"Ya, mau bagaimana lagi. Memangnya apa yang kau harapkan? Jus labu?" Tanyanya, acuh tak acuh. "Sudah lupakan saja. Yang penting, kita bisa pergi ke kota sekarang. Ayo!" Ajaknya sembari menggengam pergelangan tangan Freyaーmenyeretnya keluar kearah jendela.

Freya menurut. Dilihatnya, sapu sihir yang sejak tadi terparkir di dalam kamar mulai mendesing terbang. Stevan lekas meraihnya dan melompat keluar, menunggangi sapu sihir tersebut.

"Apa aku harus berboncengan denganmu lagi?" Tanyanya yang masih berdiri di ambang jendela. "Berdasarkan pengalamanku kemarin, aku lebih menyukai perjalanan darat ketimbang terbang menggunakan sapu."

Stevan manyun.
"Yasudah, kau saja sana yang jalan kaki. Kan sudah sembuh. Aku sih memilih untuk terbang saja. Lebih efisien dan lebih cepat."

"Jangan bercanda. Dari sini ke kota memakan waktu sejam." Protes Freya

"Nah tuh, tahu."

Freya tidak punya pilihan. Jadi ia pun melompat dengan hati-hati dan duduk tepat di depan sang penyihir. Disadari, lengan Stevan melingkari pinggulnya. Namun Freya tahu, pemuda itu tidak sedang memeluknya, sebab kedua tangannya persis menggengam gagang sapu. Freya ikut berpegangan pada gagang tersebutーsupaya tidak jatuh.

"Siap?" Tanya Stevan, riang.

Freya mengangguk.

"Kita meluncur!"
Dari aba-aba itu, sapu yang mereka tunggangi melesat cepat mengarungi udara.

Laju dari kecepatan mereka tidak membuat Freya uring-uringan. Sebab atensi nya baru saja dicuri oleh pemandangan. Baru kali ini ia menyadari akan indahnya langit malam. Sejauh mata memandang, awan biru menggantung memantulkan cahaya rembulan. Dan di baliknya, terbentang latar hitam yang menjangkau sampai garis cakrawala. Pekat dihiasi bintang yang bertaburan bagai gula-gula. Gadis itu pun dibuat termangu menatapi eloknya dirgantara.

Duchess Past Is An OtakuWhere stories live. Discover now