Bab 15

234 45 3
                                    

Aku dimana?
Freya Berkunang-kunang
Ya ampun, sialan!

SEKUJUR TUBUH FREYA terasa kaku. Pandangannya kabur. Hal pertama yang ia lihat adalah langit-langit batu di tempat yang remang.

"Kau sudah bangun." Tukas sebuah suara yang begitu familiar di rungu gadis itu. Kalimat tadi pun sama sekali bukan pertanyaan.

Bola mata Freya melirik ke ujung kelopak. Betapa kagetnya ia ketika melihat sesosok pemuda berambut pirang bergelombang yang dikenalinya. Namun kali ini, tidak ada raut jahil ataupun jenaka, hanya ada tatapan tajam dan mimik yang serius.

  Sangat ganjil rasanya melihat pemuda ini berdiri sendirianーtidak bersama dengan sang saudara kembar. Freya bahkan masih belum bisa menebak orang ini adalah Stevan atau Alex.

  Freya hendak memaki, naas lidahnya tidak mau bergerak. Ia telah dibuat lumpuh.

  "Jangan khawatir. Efek ini hanya akan berlangsung selama 24 jam. Kami belum berniat untuk membunuhmu, sampai mereka memenuhi kesepakatan kami, kau aman." Jelas Alex.

  Berarti aku sedang di sandera?! Batin Freya.

"Saat ini kau hanya dapat menggerakan bola mata dan bernafas. Lebih dari itu, tidak bisa. Yeah, meski begitu aku tahu, hanya berbaring seperti itu akan membuatmu bosan, jadi maukah kau mendengarkan ceritaku?"

Freya tidak menjawab. Sorotnya terus menatap kedua manik biru milik Alex dengan tajam.
"Kuanggap itu sebagai jawaban 'Ya'."

Pemuda itu lalu duduk bersila di sebelah Freya yang terbaring.
"Dulu sekali, terjadi pertentangan hebat antara pendeta kuil dengan para aristokrat." Buka Alex. "Tentu saja tidak secara terbuka. Hal itu selalu di tutup-tutupi, bahkan sampai sekarang."

  "Pertentangan itu terjadi disebabkan oleh perebutan hak atas nama bangsa manusia yang mana dapat memperolah kekuasaan dalam mengatur serta memberikan pengaruh terhadap pusaka suci. Ya, tidak lain dan tidak bukan, lagi-lagi berputar-putar membicarakan cawan itu. Tak terelakkan lagi, memang." Lanjut Alex sembari menghela nafas.

"Kami saling berselisih untuk mendapatkan pengakuan sebagai wali yang sah dan berhak mendiskusikan segala sesuatu terkait cawan suci dengan bangsa vrag. Sayangnya, pihak kuil kalah. Padahal, jika dilihat dari kacamata manapun, sudah jelas kamilah orang-orang yang berhak menjaga pusaka cawan suci! Dibandingkan dengan para babi gemuk yang angkuh dan serakah itu, kami jelas lebih mulia dan bijaksana untuk memperoleh misi ini!" Seru Alex, menggila.

  Freya tidak mampu berkomentar apa-apa.

  "Gadis itu tidak akan memahami ceritamu jika kau menakut-nakutinya, anakku." Sebuah suara bariton yang berat nan dalam terdengar di sisi ruangan. Tepatnya di ambang pintu.

  Langkahnya mendekat. Dengan susah payah Freya mencoba melihat sosok itu dengan jelas, namun sayangnya yang bisa ia lakukan hanyalah melirik dari ujung kelopak mata.

  "Ayah." Tukas Alex sedikit lebih tenang.

  Sekarang, pria paruh baya itu persis berdiri di samping tubuhnya. Tanpa di balut jubah hitam, kini Freya dapat melihat sosok pria itu dengan jelas. Surainya bewarna pirang pucat bergelombang, sorotnya biru pudar, banyak garis penuaan di wajahnya, tubuhnya jangkung dan jemari nya panjang. Freya sampai berpikir barangkali orang ini adalah reinkarnasi dari Rachmaninoff. (Seorang musisi  klasik era tahun 1892)

"Wahai, sebuah kehormatan dapat bertemu dengan Messiah Sols." Ungkap Tuan Mathew kepada Freya dengan salam sopan.

Cuih! Kalau bisa meludah, Freya akan meludahi wajah orang ini sekarang juga.

"Yang diceritakan Alex semuanya benar. Dan kedua anakku terlibat dalam konflik itu." Jelas Tuan Mathew.

Ketika pria itu menyebutkan nama anak yang berada disampingnya, barulah Freya mendapat jawaban dari pertanyaannya sedari tadi.

  Rupanya Alex. Pikir Freya.

Pria itu melanjutkan bicaranya.
"Beberapa tahun lalu, kami pendeta kuil membuat siasat untuk menggulingkan para aristokrat. Kami menyebarkan fitnah dan membuat mereka saling berselisih. Fitnah itu kami kemas rapi dengan dalih khotbah. Sasaran kami adalah masyarakat. Bagai percikan yang tersulut dan menjadi kobaran api, kami membiarkan huru-hara itu semakin menjadi-jadi. Kami nyaris berhasil memojokkan mereka. Yakni memberi hukuman kepada mereka yang ingkar pada tugasnya. Kami hampir mendapatkan hak cawan suci itu. Nyaris selangkah lagi. Tapi rencana kami di gagalkan oleh seorang pemuda angkuh yang sekarang di gadang-gadang dengan sebutan Putra Mahkota." Wajah pria itu mengernyit dan terlipat.

  "Putra Mahkota sialan itu bahkan mengusut tuntas perkara ini, sampai... kami tidak punya pilihan lagi selain mengkambinghitamkan Stevan dan Alex! Anak-anakku!" Sekarang pria itu mulai menangis.

   Hening, menyisakan isak tangis dari seorang pria tua bersamaan dengan jeda waktu diantara mereka.

  Bibir Freya mengatup-ngatup.
"..Ti..dak m..a..lu?" Suaranya serak.

  Tak di sangka-sangka, sihir pelumpuh dipatahkan oleh sang pahlawan. Alex dan Tuan Mathew kaget dibuatnya.

  "..Om..ong.. kosong." Freya sudah bisa menggerakan jarinya.

  "..Angkuh.. katamu? Kalian.. juga.. sama.. saja." Kini ia berusaha bangkit dan menegapkan tubuh.

  "Tidak mungkin!" Sergah Alex, panik. Pemuda itu lalu mulai membaca mantra. Begitu juga dengan Tuan Mathew yang sudah merapalkannya sejak tadi.

  "Percuma.." Freya sekarang persis berdiri. "Sepertinya kau lupa sedang menyandera siapa."

  Tubuh Freya bergejolak. Sesuatu dalam tubuhnya seakan meledak-ledak. Cahaya perlahan merambat ke sepenjuru tubuhnya. Aura nya panas dan membara. Stigma Sòlsーitulah sebutannya.
"Aku adalah Messiah kalian. Tidakkah kau ingat?" Suara Freya menggema. Membuat sekitarnya bergemuruh.

  Tuan Mathew dan Alex bergidik ngeri. Mereka seolah telah melihat perwujudan dari Sòls itu sendiri. Padahal, apa yang ditunjukkan Freya masih belum ada 1% dari sosok ilahi Sang Matahari.

  "Seharusnya kalian malu. Kalian orang-orang munafik sama busuknya seperti mereka yang hendak kalian jatuhkan. Tidak heran jika kalian terus berselisih!" Gema sang Mesiah.

  "Aku harap kejadian seperti ini tidak terulang lagi. Melawanku sama dengan melawan langit. Menyanderaku itu berarti kalian sudah bersiap dengan konsekuensinya. Aku bukan Mesiah yang baik. Aku tidak akan repot-repot menuntun orang-orang yang tersesat seperti kalian! DISINI DAN SEKARANG, AKU AKAN MENJATUHKAN HUKUMAN!" Seru Freya lantang. Batu-batu kerikil bahkan sampai berjatuhan dari dinding-dinding.

  "FREYA, HENTIKAN!!" Seru seorang pemuda di ambang pintu. Putra Mahkota.

  Tidak lama setelahnya, dua orang muncul di belakang pemuda itu. Adelaide dan Stevan.

  "HENTIKAN SEMUA INI! Sigismund, aku akan menyepakati perjanjian kita! Maka hentikanlah situasi konyol ini!" Putra Mahkota memohon dengan putus asa.

"Freya juga, tolong hentikan, kau akan membuat kuil ini hancur!" Suaranya lantang. Putra Mahkota berusaha mengimbangi gemuruh disekitar mereka.

Freya menghentikan Stigma Solus miliknya. Perlahan cahaya mulai memudar dari tubuh gadis ituーgemuruh juga ikut mereda.
"Apa kau yakin?" Tanya Freya. Suaranya sudah tidak bergema lagi.

Putra Mahkota mengangguk mantap.
"Ya. Kita bisa membicarakan hal ini. Tidak perlu ada perselisihan. Sungguh, tidak ada yang menginginkan hal itu." Tambahnya.

Freya menatap sinis pria yang masih berdiri mematung di hadapannya.
"Sepertinya orang yang bernama Sigismund ini tidak berpikiran sama sepertimu?" Ejeknya. Gadis itu lalu mengangkat bahuーacuh tak acuh. "Terserahlah. Cepat rundingkan, apa kesepakatannya?" [ ]

To be continue...

Duchess Past Is An OtakuWhere stories live. Discover now