48

1.2K 144 2
                                    

Margaret masih terngiang - ngiang dengan ucapan Kenneth semalam. Layaknya lem dan kertas, kalimat - kalimat yang diucapkan Kenneth melekat erat pada otaknya saat ini. Ia bahkan tak bisa tidur dengan tenang karena terus memikirkan hal yang sama. Ia merasa tidak mengenali Kenneth lagi. Lambat laun ia berubah, menunjukkan sifat aslinya sendiri.

"Aku benci dengan orang - orang yang tidak tahu diri, aku benci dengan orang - orang yang tidak tahu dimana tempatnya sekarang. Aku tidak suka saat seseorang berusaha membuatku marah, apapun alasannya." Kalimat tersebut selalu terngiang - ngiang di kepala Margaret.

"Rowena, apakah disini ada pelayan bernama Belva ?"

Spontan seisi ruangan diam seketika saat Margaret bertanya demikian. Tak terkecuali Rowena. Ia diam, tak berani menjawab pertanyaan tersebut. Ia tetap fokus untuk menyanggul rambut Margaret saat ini.

"Mengapa semuanya diam ? Ada apa ini ?" Margaret mengernyit bingung. Rowena segera berbalik badan kemudian memberi kode pada semua pelayan untuk keluar. Benar saja, dalam hitungan beberapa detik hanya tersisa Margaret dan Rowena di dalam ruangan tersebut.

"Ada apa memang ?" Margaret bertanya lagi.

"Memang ada pelayan bernama Belva di istana ini. Ia bahkan melayani Yang Mulia Raja."

"Lalu ?"

"Tiba - tiba ia menghilang, permaisuri. Kepala pelayan yang mengawasi Witchave juga enggan berbicara. Kami tidak terkejut dengan hal - hal seperti itu semenjak Yang Mulia Raja naik takhta. Ia sering melenyapkan musuhnya diam - diam. Oleh sebab itu kami para pelayan berusaha sebaik mungkin untuk menjaga mulut dan perilaku kami di istana. Upah bekerja di istana memang sangat menggiurkan, namun resikonya juga sebanding." Ujar Rowena hati - hati. Nyali Margaret semakin ciut saat ini. Apa yang dikatakan Rowena dan Kenneth semalam benar - benar sinkron. Kenneth sendiri mengaku bahwa ia pernah menghabisi pelayan bernama Belva.

"Itu sebabnya pelayan takut bila ditempatkan di kastil Yang Mulia Raja, apakah aku benar ?" Rowena tak menjawabnya dengan suara melainkan mengangguk pelan sebagai isyaratnya.

"Sebenarnya semua pelayan takut bila ditempatkan di kastil - kastil yang berpenghuni. Mereka lebih senang merawat kebun, taman, perpustakaan, atau tempat - tempat lain yang tak berpenghuni."

"Apalagi hal - hal yang dilakukan Yang Mulia Raja selama ini ? Jujur aku baru mengetahuinya sekarang, mengenai insiden hilangnya pelayan."

"Aku tidak berani bicara lebih jauh, Yang Mulia. Itu bukan hakku. Aku hanya ingin mengungkapkan keinginanku sebagai kepala pelayan di Monza, aku akan sangat senang bila kau melakukan inspeksi secara teratur, Yang Mulia. Lebih baik kau memukul mereka satu per satu daripada mereka harus lenyap di tangan Yang Mulia Raja. Sebagai orang yang pernah berada di posisi tersebut dan hampir mati, aku tidak ingin ada pelayan lain yang berjatuhan."

"Bagaimana bila aku memecatnya ?" Margaret menoleh dengan tatapan seriusnya.

"Tidak bisa, Yang Mulia. Saat kami diterima sebagai pelayan istana, maka kami juga harus menyetujui aturan - aturan yang berlaku disini. Masa kerja kami dihitung setiap sepuluh tahun sekali. Bila kita masih terikat, maka pantang hukumnya untuk mengundurkan diri. Sangat sulit untuk masuk kemari namun lebih sulit lagi untuk keluar." Ujarnya tenang namun sangat mendalam.

"Aku paham. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari adanya penyusupan dan transfer informasi keluar. Walaupun pelayan tidak tahu apa - apa, namun mereka sangat paham akan kondisi di dalam istana."

"Kau benar, Yang Mulia." Rowena tersenyum disana.

"Yang Mulia Raja !" Margaret memekik pelan saat ia mendengar derapan langkah kaki dalam jumlah banyak. Itu pasti Kenneth, siapa lagi memang. Rowena sudah tahu hal itu sehingga ia memasang wajah setenang mungkin dan memberikan hiasan terakhir pada rambut Margaret sebelum Kenneth datang. Saat pintu terbuka, Rowena menunduk kemudian segera berjalan mundur meninggalkan Margaret di kursi riasnya.

COLD DAYS - Bride for The KingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang