EPILOG

3.6K 205 20
                                    

"Sepertinya sebentar lagi." Tabib itu menoleh pada Elise. Wajah wanita itu benar - benar khawatir, berkebalikan dengan sang tabib yang tampak tenang layaknya tak terjadi apapun disini.

"Yang Mulia, kau harus memberitahu Yang Mulia Raja." Ujarnya khawatir. Sejak tadi Rowena terus mengelap keringat yang keluar dari kening Margaret. Perempuan itu tak henti - hentinya berdo'a dalam bisikan - bisikan yang tak terdengar oleh siapapun.

"Kapan prediksinya akan lahir ?"

"Beberapa jam lagi, mungkin. Yang Mulia Ratu harus menunggu. Bila memungkinkan, ia harus naik turun tangga supaya kontraksinya semakin kuat. Tapi bayinya tak bisa terlalu lama berada di dalam perut, risikonya terlalu tinggi."

Elise tak menjawab apapun lagi setelahnya. Ia menghampiri Margaret sembari mengangkat tubuh perempuan itu yang mulai melemah. Rowena tahu sesakit apa rasanya melahirnya sehingga ia hanya bisa diam melihat apa yang dilakukan Elise pada Margaret.

"Bangunlah, Yang Mulia. Kau harus menahan rasa sakitnya. Kita harus segera mengeluarkan bayimu sebelum sesuatu terjadi padanya."

"Elise, ini sakit sekali." Margaret merintih disana. Ia bahkan menangis padahal Elise jarang sekali melihat perempuan itu menangis.

"Kuatlah, Yang Mulia. Aku disini." Elise memegang lengan Margaret kuat - kuat agar Sang Ratu tak limbung begitu saja. Rowena mengikuti tepat di belakang Margaret, berjaga bila perempuan itu tak kuat melangkah lagi.

"Cukup." Margaret memegang sisi - sisi meja dengan kuat.

"Panggil Yang Mulia Raja sekarang." Ujarnya tegas. Rowena mengangguk kemudian ia pergi begitu saja dari sana.

"Bisakah kau keluar ?" Margaret menoleh pada tabib tersebut. Nafasnya terengah - engah, nampaknya perempuan itu tidak sedang baik - baik saja.

"Ada apa, Yang Mulia ?" Elise nampaknya sadar bahwa Margaret memang sengaja ingin menyuruh semua orang pergi dari kamarnya supaya ia dapat berdua saja dengan Elise disini.

"Aku tidak tahan, Elise. Ini sakit sekali." Tangisannya pecah disana. Detik itu juga Elise paham bahwa Margaret tak ingin orang lain melihatnya menangis.

"Apa yang bisa ku lakukan untuk membantumu, Yang Mulia ?" Elise ikut berkaca - kaca.

"Tidak ada. Aku harus melawan rasa sakit ini dan mengeluarkan bayiku secepat mungkin. Aku tidak ingin terlihat lemah." Margaret sudah akan mulai melangkah sebelum ia limbung begitu saja. Elise memeganginya kuat - kuat, beruntung perempuan itu tak menghantam lantai.

"Margaret..." Kenneth tiba - tiba saja sudah muncul di belakangnya. Tenaga lelaki itu tentunya jauh lebih besar daripada Elise sehingga ia bisa mengangkat Margaret dengan mudahnya.

"Mengapa kau tidak segera memberitahuku bahwa kau akan melahirkan ?"

"Tak apa, aku akan berjalan lagi." Margaret tak bisa menanggapi pertanyaan itu dengan baik, membuat Kenneth sadar bahwa rasa sakit yang hebat telah memudarkan konsentrasi perempuan itu.

"Sampai kapan kau harus berjalan seperti ini ?" Tanyanya dengan cemas. Margaret melangkah sangat pelan namun pasti. Ia sedang mengelilingi kamarnya sendiri.

"Aku harus segera mengeluarkan bayiku sebelum terjadi sesuatu yang buruk padanya, Yang Mulia. Ia tidak bisa berlama - lama di dalam perutku lagi." Margaret terus berjalan dengan keringat yang bercucuran. Kenneth menggenggam tangannya erat - erat, badannya sedikit bersandar pada bahu lelaki itu karena sejujurnya Margaret sudah tak kuat lagi membawa dirinya sendiri.

Tak ada pembicaraan setelah itu. Kenneth benar - benar mengunci mulutnya, tak ingin membuat kondisi Margaret semakin memburuk. Ia bisa merasakan embusan nafas Margaret, pelan namun pasti. Ia berusaha mengatur nafasnya sendiri sesuai instruksi yang ditekankan tabib sejak awal.

COLD DAYS - Bride for The KingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang