i. Blessed Children

1.2K 83 16
                                    

❝ The rain isn't a big deal ❞

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

❝ The rain isn't a big deal ❞

──────────────────────────────

Dua tiga larik cahaya matahari menimpa wajah cantik sang wanita. Ia memainkan tangan, membentuk bayangan di wajah sendiri meskipun ia tak dapat melihatnya.

"Mama!"

Wanita itu menoleh, ia tersadar dari permainan bayangan tadi. Segera saja siluet anak laki-laki menjadi titik fokus pertamanya. Ia tersenyum, merentangkan tangan.

Di belakang anak itu, terhampar berundak undak bukit. Hijau, sejuk, dan segar. Matahari yang makin meninggi tidak membuat cuaca disini makin panas. Selalu sejuk.

Dibawah, tepatnya di lajur yang digunakan anak tadi berlari, ladang penuh sayur mayur mencerahkan suasana. Warna warninya memberi kesan keceriaan.

"Ma!"

Grep! Segera saja anak laki laki tersebut menjatuhkan diri dalam pelukan sang ibu. Hoodie gombrohnya hampir menyentuh lutut. Sang Ibu memeluk anaknya hangat. Ia mengangkat anak lelakinya itu ke pangkuannya. "Dapat banyak beri, Sayang?"

"Banyak Ma! Ada banyak sekali!"

Ibu itu mengecup kedua tangan anaknya lembut. Mengangguk. Tak lama kemudian terlihat bayangan seorang pria yang menuju kearah mereka. Ia berjalan pelan saja, tangannya membawa keranjang yang kelihatannya berat.

"Aku bawa banyak wortel, Sayang! Lihat! Oranye nya cantik sekali, kalian suka kan?"

Lengang. Tiba tiba semuanya terdiam. Angin tidak lagi membelai, tapi seakan menampar nampar wajah.

"A-ah, terima kasih. Aku suka."

Pandangan pria itu langsung berubah. Seperti baru menyadari sesuatu. "Maaf, maksudku kau. Maaf, aku lupa lagi." Ia menunduk.

Sang istri menggeleng, "Tidak apa apa, kemari, lupakan dengan minum teh ini."

Suaminya itu mengangguk patuh, ia duduk di kursi goyang berdampingan dengan istrinya, meneguk air teh.

"Papa masih sedih ya, Ma?" Anak lelaki itu menatap prihatin. Ia mengambil beberapa beri dan memberikannya pada Papanya.

"Makan buah kesukaan Kaizo ini Pa! Enak!"

Ah, anak usia tiga tahun itu bahkan sudah tahu cara membelokkan topik pembicaraan.

Sang ayah mengacak rambut anaknya, tertawa. "Kau selalu bisa saja. Terima kasih, Sayang. Papa tidak sedih lagi. Kaizo juga tidak boleh sedih, ya?"

"Iya Papa. Kaizo tidak sedih kok. Kan nanti bisa ada lagi adiknya."

"Uhuk uhuk!" Sepasang suami istri itu hampir terbatuk bersamaan. Saling lirik, salah tingkah. "Eee... Kaizo mau sekali ya  punya adik?"

Closure | Kaizo [TO BE REWRITTEN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang