xxxvi. A Constant Rain of Pain

270 28 16
                                    

❝ I don't know if I can anymore, so watch me break

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

❝ I don't know if I can anymore, so watch me break. I can see everything torn away from me ❞
──────────────────────────────

Brak!

Pintu dibuka dengan keras. Seorang pria  memasuki ruang kerjanya dengan gelisah.
Ia sudah siap untuk mengempaskan diri di sofa empuk ruangannya ketika ia menemukan sesuatu yang salah.

Nancy kelihatan kaget melihat kedatangannya. Alan tahu dia baru kembali dari organisasi power sphera itu. Alan terdiam sebentar. Tak terkejut melihat kegugupan Nancy.

"Apa?"

Nancy menggeleng, ia bangun dari posisinya, berniat keluar. Saat itu baru ternampak oleh Alan kondisi tangannya.

"Hei, apa-apaan ini?" Alan menahan bahu Nancy. "Woah! Siapa yang membuatnya? Aku harus menyampaikan terima kasihku dengan plakat." Alan terkekeh menggoda. Tulang di pergelangan tangan Nancy kelihatan terbalik.

"Bukan urusanmu," hardik Nancy melepaskan diri. Alan membiarkan. Namun, sebelum Nancy menggapai engsel pintu, Alan berteleportasi ke sampingnya, meraih bahunya.

"Mengapa terburu-buru, Nancy? Soal pasangan Gabenor bagaimana?" Suaranya berat dan kasar. Tingginya membuat Nancy harus mengangkat kepala untuk menghadapnya

"Bagaimana, Nancy?"

Nancy mencoba melepaskan diri, Alan meremas bahunya kuat-kuat.

"Aku tidak tahu! Dia tiba-tiba saja menemukannya!"

Alan menguatkan cengkeramannya. "Aku tahu, y/n begitu memukau. Semua aksinya memukau. Tapi, Nancy, kau bilang," Alan merendahkan suara sekaligus kepala. "Kau sudah menyiapkan hal ini selama sepuluh tahun."

Nancy tak berkutik.

"Rencana yang disusun sepuluh tahun yang begitu kau bangga-banggakan ternyata runtuh dengan amat...." Alan menaikkan alis, membuat mimik 'coba isi sendiri jawabannya.'

"Aku tidak tahu! Dia intelijen, aku cuma anak perempuan biasa!"

"Selalu menganggap dirimu luar biasa... wah, kemajuan besar, ini pengakuan terhebat di abad ini."

Alan sering mendengar ayahnya berkata sarkas seperti itu untuknya dan, terutama, Nancy. Kalau mereka berdua membuat masalah. Dan, sebenarnya, mereka berdua, terutama Nancy, lagi, selalu terlihat salah di mata pria tua itu.

"Mengapa tidak ada yang pernah mengambil sisiku?" Setelah cengkeramannya melonggar, Nancy harusnya mengambil kesempatan untuk kabur, lalu tantrum seperti biasanya. Namun, ia merosot ke lantai. Dua lututnya tertekuk.

"Sakit, Kak. Selama ini aku sakit, tahukah kalian?" Nancy terisak. "Aku melawan kesakitanku dengan caraku, tidak peduli dengan yang lain karena tidak pernah juga aku dipedulikan."

Closure | Kaizo [TO BE REWRITTEN]Where stories live. Discover now