4. El dan Petrichor

122 90 81
                                    

Sekitar lima belas menit Lingga akhirnya sampai di bengkel dan sudah ada Adam yang menunggu.

Lelaki itu menghampiri Lingga dengan cengiran bodohnya karena Lingga yang terlihat sangat lelah dan frustasi.

Bagaimana tidak? Bayangkan saja, mendorong motor yang tidak seringan gas tiga kilo dibawah terik matahari yang mencuat.

Jikasaja yang berada diposisi Lingga adalah perempuan, mungkin akan menendang motornya lalu berteriak sambil menangis di jalan.

Adam mengambil alih untuk memarkirkan motor Lingga, membiarkan temannya yang kelelahan itu bernapas.

"Mana, Bang?" Tanya pria berkulit gelap yang baru saja keluar dari dalam bengkel.

"Ini, Om. Nah, itu temen saya, yang punya motornya." Pria itu mengikuti arah yang ditunjuk Adam, lalu mengangguk.

"Itu--"

"--Udah, biar saya yang cek sendiri, ya. Santai aja, Bang. Santai," Ucap pria itu memotong kalimat Lingga.

Lagi-lagi, Adam dibuat tertawa. Dasar lelaki murah tawa.

"Minum, Ga." Adam menyodorkan satu minuman dingin yang kebetulan dijual di bengkel ini.

Lingga meneguk minuman itu hingga tandas setengahnya. Memang sehaus itu.

"Sering kambuh gitu motor lo?" Tanya Adam setelah menutup kembali botol minumannya.

"Dibilang sering, jarang. Dibilang jarang juga rasanya gue pegel liat tuh motor kambuh mulu," Jawab Lingga.

"Wah, ini ga bisa ditunggu." Ucap pria yang masih mengecek motor Lingga.

"Tinggal aja." Titah pria itu yang sudah berdiri menghadap Lingga dan Adam.

"Bengkel saya, kan, ga sampe malem. Terus saya lagi ga ada yang bantuin," Lanjutnya.

Lingga dan Adam yang paham langsung menyetujui.

"Yaudah, balik sekarang aja kalo gitu." Ucap Adam sambil bangkit menuju pria itu diikuti oleh Lingga.

Setelah berpamitan, Adam mengantar Lingga menuju rumahnya yang ternyata satu arah dengan rumah Adam.

Tentunya mereka tak saling diam saat diperjalanan. Berbagai hal mereka bahas, terutama Adam yang lebih mendominasi dengan pertanyaan tidak pentingnya dan Lingga yang selalu menjawab sebagai bukti bahwa itu adalah salah satu proses pertemanan yang baik.

Dipertengahan jalan, langit mulai gelap. Menandakan hujan deras akan turun setelah cuaca yang sangat terik tadi.

"Di sini aja, Dam." Lingga menepuk bahu Adam, mengisyaratkan agar ia berhenti saat sudah sampai di depan gapura perumahan.

"Lah, ga sampe depan rumah?" Tanya Adam menghentikan laju motornya.

"Ga usah. Deket juga," Tolak Lingga turun dari motor.

"Serius?" Tanya Adam.

"Serius." Ucap Lingga meyakinkan sambil memberikan salaman yang diterima oleh Adam.

"Yaudah, balik, ya." Pamit Adam.

"Hati-hati. Thanks, Dam." Ucap Lingga.

Adam mengangguk lalu menutup visor helmnya dan membunyikan klakson untuk Lingga sebelum benar-benar melajukan motornya.

Benar saja, rintik-rintik yang tak halus mulai jatuh.

Lingga mempercepat langkahnya karena jarak rumahnya masih harus melewati satu blok lagi.

Rintik-rintik yang terus berjatuhan dengan stabil menimbulkan bau tanah, petrichor.

Saat sedang menikmati bau khasnya, pandangan Lingga tertuju pada gadis yang berdiri dibalik pagar rumah yang sejak kemarin terlihat sepi.

Entah perasaan apa yang membuat detak jantungnya berdebar. Apa itu Renjana? Atau pemilik baru?

Semakin dekat, tinggal beberapa langkah lagi Lingga sampai di depan pagar rumahnya. Kini ia bisa melihat dengan jelas gadis itu.

Gadis berkulit bersih yang membiarkan rambut panjangnya diikat satu, memakai sweater rajut dan celana tidur lalu membiarkan telapak kakinya bertelanjang.

Gadis itu terus memegang besi pagar rumahnya yang mulai usang dan tak kunjung membuka matanya. Terlihat sangat menikmati udara dengan wajah tenangnya.

Kini semakin banyak pertanyaan dikepala Lingga. Tentang siapa gadis itu dan berharap bahwa Renjana adalah jawabannya. Jika itu benar Renjana, Lingga sangat rindu.

"El,"

Gerakan Lingga yang hendak membuka pagar rumahnya terhenti saat mendengar panggilan asing.

"Masuk, yuk. udah mau deres hujannya." Ucap seorang wanita yang kemungkinan sebaya dengan Ratna.

Wanita itu menuntun gadis yang ia panggil El tadi untuk masuk ke rumah.

Jujur, Lingga merasa sedikit kecewa setelah ekspetasinya terasa harus hancur.

Ia tak mengenal wanita itu. Jelas bukan wajah ibu dari Renjana yang ia kenal. Ditambah lagi dengan panggilannya pada gadis itu. El.

Lalu kemana Renjana? Apa pertemanannya dengan Renjana memang harus berakhir sampai usianya delapan tahun saja?

Lingga bingung. Bingung pada perasaannya sendiri. Haruskah ia serindu ini pada teman kecilnya? Bahkan Lingga sendiri kadang merasa ini tidak wajar.

Gimana yang kemarin penasaran? Udah terjawab sedikit yaa rasa penasarannya

Lingga lagi sedih tuh, butuh semangat katanya

Bantu Lingga sama Pal nyari Renjana pake vote komen kalian ya, siapa tau Renjananya cepet ketemu

Stay healthy && happy, darl

PETRICHOR  [ END ]Where stories live. Discover now