37. Kejutan Dari Lingga

29 7 5
                                    

Roda-roda kecil yang saling bergesekan dengan lantai putih, serta hentakan beberapa pasang kaki mampu menyita atensi sekian pasang mata yang ada.

Bergerak menuju ruang instalasi gawat darurat, dengan berbagai rapalan doa serta harapan terus terlontar dari masing-masing batin perawat maupun dokter.

Malam ini, tepat pukul sebelas telah tercatat satu tragedi yang membawa dua remaja sekaligus pada ambang kematian.

***

Sekitar sepuluh menit saat penanganan berlangsung, Ratna serta Dion bergegas menuju rumah sakit bersama dengan empat remaja yang sedaritadi menunggu kepulangan Lingga.

Pikir Ratna, mungkin ini jawaban dari kegusaran hatinya yang tak ingin Lingga pergi.

Ia linglung, seperti tak tahu apa yang seharusnya ia lakukan lebih dulu. Rasanya semua terjadi terlalu cepat dan mengejutkan.

"Kak, Abang bakal baik-baik aja, kan?" Tanya Dion pada Malvian yang berjongkok.

Bocah delapan tahun itu telah memiliki rasa iba, terlebih pada Ratna yang terlihat sendu. Ia tak ingin mencecar Ratna dengan pertanyaan-pertanyaan yang semakin memperburuk suasana hati Ibunya.

"Doain aja, ya," jawab Malvian, segera mendapat anggukan lesu dari Dion.

Berusaha menenangkan Ratna dengan pelukan, mungkin hanya itu yang dapat Dion lakukan sekarang.

Seperti Ratna dan empat teman Kakak lelakinya, Dion juga hanya bisa berdoa dengan harapan yang terbaik.

Dua remaja lainnya yang baru saja datang mengalihkan atensi semua orang yang tengah menunggu terbukanya pintu kaca buram itu.

"Tante." Adam mencium tangan Ratna, diikuti oleh Berryl.

"Lingga gimana, Tante?" Tanya Berryl yang mendapat gelengan samar dari Ratna.

Satu pukulan kecil yang selalu Adam berikan pada bagian dada Berryl layaknya satu kode. Berryl yang paham lantas mengikuti Adam, untuk bersalaman dengan empat orang lainnya.

"Berryl."

"Adam."

Seperti itu dengan jabatan tangan yang singkat, hingga dua lelaki tersebut berhasil mengetahui empat nama lelaki yang juga teman dekat Lingga.

"Dari Bogor langsung kesini?" Tanya Berryl, seraya ikut bersandar pada tembok di samping Satria.

Lelaki berbalut jaket kulit hitam itu menggeleng, dengan tatapan lurus pada dinding polos di hadapannya. "Tadinya mau rayain ulang tahun dia jam dua belas nanti." Ucapnya.

Berryl merogoh saku celananya, kemudian mengaktifkan ponselnya yang menunjukkan hampir pukul dua belas.

Lelaki itu dengan Adam tentu tak melupakan hari jadi Lingga. Mereka telah membicarakan ini sebelumnya, mengenai perayaan kecil seperti apa yang akan diberikan.

Derap langkah tergesa lagi-lagi terdengar kian nyaring, hingga menampilkan sosok Linda serta Agam.

Wanita itu terlihat marah dan khawatir dalam waktu bersamaan. Dengan tangannya yang mengepal, ia menghampiri Ratna yang telah berdiri.

"Harusnya saya ga ngasih kepercayaan itu sama anak kamu." Desis Linda dengan amarah yang tertahan.

"Kalo sampe terjadi apa-apa dengan Renjana, saya--"

"-- Tante, udah. Tante tenang dulu." Sergah Agam, seraya membawa Linda untuk duduk pada kursi tunggu yang masih kosong.

Lima belas menit setelah kehadiran Linda serta Agam, pintu kaca buram itu tak kunjung terbuka. Bagi Linda, ia seolah mengalami deja vu saat ini.

Batinnya terus meminta, agar segera membangunkannya dari mimpi yang paling ia takuti. Sedang Ratna, jikasaja wanita itu adalah seorang Ibu super yang dapat mencegah segala hal buruk, maka akan ia lakukan.

"Orang tua kedua pasien apa sudah hadir?" Suara bariton dengan setelan khas yang mencirikan dirinya seorang dokter mampu membuat Linda serta Ratna beringsut mendekat.

"Saya Ibunya Lingga,"

"Saya wali Renjana,"

"Baik. Ada beberapa hal yang perlu saya sampaikan mengenai kondisi kedua pasien. Mari,"

Mengikuti pria tersebut menuju ruangannya, Ratna meminta agar Dion tetap menunggu dengan enam remaja lainnya yang tengah dirundung rasa penasaran.

"Beberapa hal akan saya sampaikan lebih dulu pada Ibu." Ucap Dokter tersebut menatap Ratna.

Menautkan kedua tangannya di atas meja, pria itu memulai, "Sebelumnya, apa Ibu mengetahui gangguan yang terjadi pada bagian jantung anak Ibu?" Tanyanya.

"Saya tau, Lingga dari kecil punya jantung yang lemah," tutur Ratna.

"Ibu sudah pernah melakukan pengecekan lagi?"

Ratna menggeleng. Pasalnya, sejak Lingga menduduki bangku kelas sepuluh, lelaki itu bersikeras menolak segala pengecekan yang ingin Ratna berikan. Terlebih, wanita itu juga sadar, bahwa ia begitu sibuk dengan karirnya hingga tak memiliki banyak waktu untuk terlalu memaksa Lingga.

Pria dengan name tag bertuliskan Dr.Wirawan tersebut tampak mengehela napas. "Begini Ibu, saya akan menyampaikan hasil pemeriksaan tanpa menutupi hal apapun." Ucapnya, menatap Ratna yang siap mendengar.

"Kardiomiopati yang diidap oleh saudara Lingga, telah memasuki tahap gagal jantung," jelasnya.

Bahu Ratna turun tanpa air mata yang luruh. Ini terlalu menyakitkan, hingga tak dapat dicurahkan dengan air mata.

"Terus keadaan keponakan saya gimana, Dok?" Desak Linda.

Pria itu tampak menghela napas, seraya melihat kertas catatan yang entah isinya apa. "Kebutaan yang dialami serta cidera kepala belakang yang kembali terjadi, menyebabkan saudari Renjana berada dalam keadaan kritis untuk saat ini."

"Kami para tim medis, hanya bisa membantu mencegah segala resiko paling buruk," lanjutnya.

Dua wanita pemilik tanggung jawab yang sama itu, tak bisa melakukan apapun selain berharap pada Tuhan agar segera memberikan hal-hal baik.

Tergugu dalam lautan sendu yang menenggelamkan mereka, hingga untuk menghirup oksigen saja rasanya begitu sulit.

Ini hari jadi Lingga. Haruskah lelaki itu merayakan hari jadinya dalam ruang hampa sendirian, dengan sekian rasa sakit yang ia pendam?

Jikasaja Ratna adalah seorang pengelana waktu, ia ingin kembali pada masa-masa ketika Lingga berada dalam titik tersakitnya.

PETRICHOR  [ END ]Where stories live. Discover now