36. Tragedi Hari Jadi

40 8 12
                                    

"Aku ga akan kemana-mana. Aku, bakal terus ada sama kamu,"

"Seterusnya," lanjut Lingga.

Ting!

"Bentar," ucap Lingga pada Renjana yang segera menegakkan punggungnya sembari memeluk kedua lututnya.

Menyimpan kembali gawai tipisnya ke dalam saku jaket, Lingga tak ingin segera bangkit

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Menyimpan kembali gawai tipisnya ke dalam saku jaket, Lingga tak ingin segera bangkit.

Kalausaja waktu bisa dihentikan, rasanya ia ingin terus seperti ini. Menjadi bahu untuk Renjananya sampai waktu yang tak ditentukan.

Tetesan air dari langit gelap yang telah menelan ribuan bintang itu menyadarkan Lingga, bahwa memang segala sesuatunya akan terus berjalan dan ia harus segera menyudahi kencan malamnya yang terasa sangat singkat.

"Lingga, gerimis, ya?"

"Iya, ayo." Jawab Lingga seraya bangkit, kemudian menggenggam tangan gadis yang tak kunjung berdiri.

"Kenapa?" Tanya Lingga.

"Ga mau pulang," jawab Renjana sendu.

Sejujurnya, batin Lingga pun meneriakkan hal yang sama.

Lekaki yang setia menggenggam tangan kanan Renjana, beralih dalam posisi berjongkok di hadapan gadis itu.

"Udah jam sepuluh, kalo aku bawa kamu pulang jam sebelas, nanti kita ga bisa jalan malem lagi,"

"Nanti kita jalan-jalan kayak gini lagi?" Tanya Renjana.

Lingga menatap kedua netra yang tatapannya selalu kosong. "Iya."

"Sekarang kita pulang dulu." Lanjut Lingga seraya bangkit, dengan Renjana yang kali ini telah berhasil dibujuk.

Dengan setengah hati, dua insan yang belum memiliki status lebih dari sahabat itu akhirnya turut meramaikan jalanan malam ini.

Dengan pikirannya masing-masing yang beradu bersama deru kendaraan serta sahutan klakson, Lingga terus menatap lampu lalu lintas yang tak kunjung bergerak turun pada warna hijau.

Gerimis yang tak berkesudahan rupanya mengundang hujan. Menumpahkan lelahnya hari ini pada tiap ruas jalan yang dikehendaki.

"Kita neduh dulu." Ucap Lingga seraya mematikan mesin motornya pada salah satu toko yang telah tutup.

"Kenapa ga hujan-hujanan? Biasanya Lingga mau hujan-hujanan." Tutur Renjana hang menerima bantuan Lingga untuk turun dan segera berteduh.

"Udaranya terlalu dingin, kamu bisa sakit." Jawab Lingga.

Lelaki dengan sejuta kejutan itu meraih kedua tangan Renjana yang tak henti saling bergesekan, kemudian menggenggamnya untuk ia tiup agar terasa hangat.

"Dingin banget, ya?" Lingga menatap Renjana, kemudian kembali berusaha menghangatkan telapak tangan gadis itu yang sedikit berkerut.

"Lingga tau ga, kenapa Renjana lebih suka sama petrikor?" Tanya Renjana.

"Kenapa?"

"Petrikor itu lebih adil daripada hujan." Renjana menatap kosong pada gelapnya dunia.

"Semua orang bisa ngerasain hujan tapi ga semuanya bisa ngeliat hujan. Sedangkan petrikor, semua orang bisa ngerasain itu, tanpa perlu tau wujud petrikor yang selama ini bikin candu itu kayak gimana." Lanjutnya, seolah mengambil seluruh kosa kata yang Lingga miliki.

Kalausaja waktu bisa diputar semudah memutar jarum jam, maka akan ia ulang hari dimana awal mimpi buruknya terjadi. Hari dimana ia disebut-sebut sebagai salah satu faktor dari kemalangan Renjana.

Lelaki yang setia menggenggam kedua tangan gadis yang mulai menghangat itu mendekat, kemudian membawa Renjana ke dalam dekapannya.

"Maaf," tutur Lingga.

"Makasih, ya, Lingga udah mau dateng lagi dan ngasih warna baru buat Renjana." Ucap Renjana.

"Aku ga pernah ngasih warna baru buat kamu, aku cuma ngembaliin warna yang hampir hilang," sahut Lingga, seraya mengeratkan dekapannya.

Lelaki yang terus menyalurkan kehangatannya lewat dekapan, bergerak mendadak melepas dekapannya kala pandangannya tertuju pada sweater bagian bahu Renjana menunjukkan bercak darah.

"Lingga kenapa?"

Alih-alih menjawab, jemari Lingga mengusap jejak darah pada hidungnya, kemudian merogoh saku celananya.

Pukul sepuluh lewat empat puluh lima, dan sekian panggilan masuk dari Linda serta Ratna terpampang jelas pasa layar ponselnya.

"Lingga," panggil Renjana, berhasil menyentuh dada bidang lelaki itu.

Lingga meraih tangan Renjana. "Hujannya udah mulai reda, kita lanjut pulang sekarang, ya? Tante Linda udah nyariin." Ujar Lingga yang segera diangguki oleh Renjana.

Menerobos gerimis yang kembali tiba, lelaki penunggang motor tua itu membelah jalanan basah bersama gadis di belakangnya.

Lingga melirik pada spion yang menampilkan wajah cantik Renjana, kemudian menarik pelan kedua tangan gadis itu agar memeluknya lebih kencang sebelum menancapkan gas.

Jalanan lincin yang kian lenggang akibat waktu yang semakin larut, tentu memudahkan Lingga untuk mempercepat laju motornya.

Lingga hanya ingin segera mengembalikan Renjana yang telah kedinginan, lalu dirinya yang harus segera diistirahatkan.

Lelaki yang begitu fokus pada jalanan kini sadar betul, bahwa mimisan yang akhir-akhir ini kerap menyerangnya selalu menimbulkan efek samping rasa nyeri pada dadanya.

Benar saja, rasa nyeri itu timbul lagi. Mati-matian Lingga menahan rasa sakit yang kini terasa lebih sakit dari sebelumnya.

"Lingga, jangan ngebut-ngebut!" Ucap Renjana sedikit berteriak.

Untuk mengeluarkan sepatah kata saja rasanya begitu sulit. Ia bahkan tak dapat mengontrol tubuhnya sendiri karena rasa sakit yang kian menjalar.

Pendengarannya seolah ditutup, pandangannya dibuat kabur. Hingga satu mobil sedan hitam yang muncul secara tiba-tiba dari balik mobil lainnya berhasil menggoyahkan usaha pertahanan Lingga.

TIIINN!

"Linggaa!!"

BRAKK!!



Cast satria udah kebuka di chapter ini, masih inget ga sama cast cast yang udah kebuka sebelumnya?

PETRICHOR  [ END ]Where stories live. Discover now