30. Renjana dan Rindunya

22 8 5
                                    

Deru motor yang ikut meramaikan ruas jalan terus menembus udara sejuk Bandung.

Jam pulang kantor yang menyebabkan sesaknya kota kian terkesan padat, kala beberapa laju kendaraan melambat dengan bunyi klakson yang saling menyahut.

Rintik-rintik yang mulai terasa pada lengan Lingga, membuat lelaki tanpa balutan jaket itu menambah kecepatan laju kendaraan roda duanya.

Dengan sepasang alis yang tampak bertaut di balik helm, Lingga memikirkan sikapnya sendiri pada Melisa.

Ia sadar betul, bahwa dirinya memang tak ingin memaksakan perasaannya sendiri. Kemudian mengenai perasaan gadis itu, Lingga pikir menolak sejak awal adalah jalan terbaik.

Lingga juga tak ingin, dengan sikapnya yang turut merespon tiap aksi ketertarikan Melisa padanya justru akan membuat gadis itu berpikir, kalau Lingga mengizinkan Melisa untuk masuk pada ruang hatinya.

Bukankah setiap hal yang dijalani tanpa ketulusan hati akan berdampak buruk nantinya?

Begitupun dengan Lingga, lelaki itu begitu menghindari untuk menjalani satu hubungan dengan perasaan yang tak seimbang di dalamnya.

Memasuki area perumahan, pandangannya tertuju pada gadis yang tengah duduk sendirian di lapangan.

"Renjana." Panggil Lingga usai memarkirkan motor serta melepas helmnya.

"Lingga?" Sahut Renjana mencari sosok yang memanggilnya.

Lingga meraih tangan lembut gadis di hadapannya. "Udah mau hujan, kenapa keluar?" Tanya Lingga.

"Mendung, ya?"

"Di jalan udah gerimis," jawab Lingga.

Sepersekian detik usai Lingga menuntaskan ucapannya, langit menjatuhkan rintik air.

"Lingga, boleh tolong ambilin tongkatnya? Aku mau pulang," pinta Renjana yang terdengar gusar.

"Kita hujan-hujanan." Lingga menuntun tangan Renjana ke tengah lapangan seiring rintik yang kian banyak.

"Aku takut, Lingga," ucap Renjana, kala langit menumpahkan tangis histerisnya sore ini.

"Selama sama aku, ga ada yang perlu kamu takutin," suara Lingga beradu dengan derasnya hujan.

"Kenapa Lingga sekarang pake aku kamu?"

"Karena aku mau nyeimbangin kamu." Jawab Lingga yang kemudian mendekap Renjana.

"Aku ada sama kamu, sekarang dan seterusnya. Jangan takut lagi," lanjut Lingga.

Merasakan kedua tangan Renjana melingkar di antara pinggangnya, membuat lelaki itu mengeratkan dekapannya sambil sesekali mengusap puncak kepala gadis yang kini seperti heroin untuknya.

Melepas dekapannya, Lingga mengulur kedua tangan Renjana untuk menikmati derasnya hujan.

"Mama, Papa! Renjana kangen!!" Teriak gadis itu mengeratkan pegangannya pada kedua tangan Lingga.

Lelaki yang kini tahu betul bahwa gadis itu menangis, terus membiarkannya. Ia hanya ingin agar Renjana melepas semuanya.

"Renjana kangen berat, Ma, Pa!"

Bohong jika Lingga tak ikut merasakan sakitnya jadi Renjana. Mendengar teriakan rindunya saja rasanya begitu pelik.

Tenggorokannya terasa seperti menelan benda tajam hingga membuat dadanya terasa ngilu.

Tanpa diminta, ia kembali mendekap gadis yang kini tak dapat menyembunyikan tangisnya lagi. Tak ada yang dapat Lingga lakukan saat ini selain menjadi tempat Renjana menumpahkan segala rasanya.

***

Sepasang kaki terus menyusuri tiap gundukan tanah yang berbaris rapi dalam jumlah banyak di lahan luas tersebut.

Dengan rotan anyam berbentuk oval yang menyimpan berbagai warna kelopak bunga, Lingga terus menautkan jemarinya pada Renjana yang tak pernah membawa tongkatnya jika bepergian dengan Lingga. Lelaki itu bilang, ia yang akan menjadi pengganti tongkat bantu Renjana.

Usai kejadian tempo hari yang melibatkan Renjana dan rindunya, hari ini Lingga memutuskan untuk membawa Renjana pada tempat dikebumikannya Nadira serta Amran beberapa tahun lalu.

Tentu bukan hal mudah untuk dapat membawa Renjana seperti sekarang ini. Linda masih belum sepenuhnya menerima kehadiran Lingga. Butuh kesabaran agar dapat meyakinkan Wanita tiga puluh delapan tahun itu.

Akhirnya, berbekal nama lengkap mendiang kedua orang tua Renjana serta bertanya pada penjaga makam setempat, Lingga dan Renjana berhasil menemukan yang mereka cari.

"Ma, Pa, maafin Renjana baru bisa dateng lagi, ya." Renjana bermonolog pada dua nisan bersih yang berdampingan.

"Mama sama Papa mau tau ga? Hari ini, Renjana di temenin sama Lingga, lho," lanjutnya dengan suara yang mulai bergetar.

Lingga tak ingin merusak suasana, yang ia lakukan saat ini hanya merangkul gadis di sampingnya sambil sesekali mengusap atau meremas bahu Renjana, berharap hal itu dapat menyalurkan kekuatan.

"Renjana sama Tante Linda sehat, dia suka sensian sama Lingga." Ungkap Renjana dengan kekehan yang tak mampu menghalau bulir bening itu.

Tak kuasa, gadis itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, kemudian terisak dengan suara tertahan.

"Renjana kangen, Ma, Pa ... " Lirihnya tersendat-sendat.

"Mereka juga kangen sama kamu." Ucap Lingga yang telah membawa kepala gadis itu pada dadanya.

"Kalo mereka kangen, kenapa ga dateng ke mimpi aku?"

"Aku nungguin, sebentar aja gapapa, kok,"

"Mau di peluk Mama lagi, mau sama Papa lagi," lanjut gadis yang air matanya kian merembes, membuat pulau kecil pada baju Lingga di bagian dada.

"Kamu mungkin ga bisa ngerasain secara nyata lagi kasih sayang mereka, aku juga ga bisa seratus persen jadi mereka. Tapi, aku bisa jadi apa yang kamu mau. Aku bisa kasih rasa sayang aku ke kamu secara nyata, sebanyak apa yang kamu butuhin." Tutur Lingga dengan lembut, sambil sesekali menepuk pelan lengan Renjana yang masih bersandar.

"jadi Tante Linda, bisa juga?" Tanya Renjana yang berhasil tenang.

Lingga menatap gadis yang menegakkan tubuhnya, memandang kosong pada hamparan hijau dan sekian nisan yang ada dengan hidung merahnya yang terlihat kian menggemaskan di saat seperti ini.

"Bisa. Tapi bagian yang selalu jagain kamunya aja, ya." Lingga memajukan badannya pada Renjana, kemudian berbisik, "Bagian sensinya jangan, nanti kamu takut sama aku," ucap Lingga yang berhasil menerbitkan sabit itu di antara pipi mulus Renjana.

Rasanya, saat ini ada yang lebih ingin ia jaga selain Ratna dan Dion yaitu, gadis yang akhir-akhir ini seperti pekerja rodi, tak kenal lelah maupun libur untuk selalu bekerja di otak Lingga.

PETRICHOR  [ END ]Where stories live. Discover now