32. Titik Menyerah

21 7 10
                                    

Salah satu teori mengenai perasaan seseorang adalah menyerah.

Lingga pikir, posisi tersebut tengah dihuni oleh Melisa, gadis yang akhir-akhir ini tak begitu banyak menunjukkan atensinya pada Lingga, seperti saat terakhir kali ia memberikan plester luka untuk dahi Lingga akibat perkelahian yang melibatkan Agam.

Melisa juga tampak tak begitu menjadi objek bising di dalam kelas, ia terlihat lebih nyaman dengan kursi panas yang didudukinya sejak pagi hingga bel berbunyi.

"Ga!"

Lelaki yang tengah membenarkan tali sepatunya itu menoleh, pada Adam dan Berryl yang telah menampakkan diri di ambang pintu.

"Oy! Bentar-bentar." sahut Lingga mempercepat gerakannya, kemudian memakai jaket coach berbahan taslan hitam yang hari ini ia bawa.

"Lo balik sama siapa, Mel?" Tanya Berryl.

Gadis yang kini bangkit dan bersiap itu menoleh. "Sama ojek online." Jawabnya.

"Bareng aja, ayo. Mau ga?"

"Tapi udah dipesen ojeknya." Ungkap Melisa menunjuk layar ponselnya yang ia letakkan di atas meja.

"Udah sampe?" Tanya Berryl lagi, membiarkan Melisa segera melihat ponselnya.

"Belum jalan drivernya,"

"Mending lo batalin. Tuh, liat." Jemari telunjuk Berryl terangkat, menunjuk pada jendela besar di ujung kelas yang menampilkan langit telah mendung.

"Daripada keburu hujan deres, mending bareng gue sekarang," usul Berryl.

"Lah, lo ga jadi ikut ke Teruna?" Tegur Adam.

"Nyusul." Jawab Berryl seraya menaik turunkan kedua alisnya.

"Gue mau nganterin ibu gue dulu. Santai, kan, Ling?"

Lingga yang sempat tak mengerti lantas hanya dapat menyetujui saja akhirnya, "Santai," tuturnya.

"Nah, ayo, Mel. Keburu hujan," ajak Berryl.

Gadis bersurai sebahu yang telah membatalkan pesanan ojeknya itu mengangguk setuju. "Ayo. Dam, Lingga, duluan, ya." Pamit Melisa.

Lingga paham sekarang, gadis itu betul-betul ingin memberi jarak. Entah ia sedang lelah atau telah menyerah perihal berjuang sendirian.

Untuk perasaan bersalah yang hinggap, Lingga mewajarkan itu. Ia jelas memiliki salah karena pada akhirnya tak bisa sama-sama berjuang membangun kapal yang ingin Melisa tempati bersama. Namun, kembali pada hal-hal beresiko, jika ia terus membiarkan Melisa semakin jatuh, maka akan semakin sulit juga Lingga untuk menolong gadis itu.

Lelaki yang kini tengah melihat sederet kaset vinyl itu cukup bersyukur, atas sikap Melisa yang tetap dewasa dalam menghadapi permasalahan asmaranya. Ia juga yakin, bahwa hal-hal baik akan datang pada gadis yang kini tengah menerobos gerimis bersama Berryl.

Keputusan Berryl yang membatalkan rencananya untuk singgah di Teruna Kafe sejenak, justru membawa Lingga dan Adam pada salah satu tempat yang menjual berbagai kaset piringan berbagai warna.

Berlokasi yang hanya terpaut seratus meter sebelum Teruna Kafe, Lingga pikir sepanjang kawasan dekat Teruna Kafe merupakan kawasan bernuansa retro.

"Lo udah bilang ke Berryl kita ga jadi ke Teruna?" Tanya Lingga dengan kaki yang perlahan terus menyusuri rak.

"Belum, lagian ga akan nyusul juga," jawab Adam.

"Iya, sih, ga akan sempet. Nganterin emak-emak mana cukup sejam." Ucap Lingga, seraya mengangkat sedikit karton kaset yang berada pada lapisan kedua.

"Wah, lo ngatain Melisa emak-emak? Harusnya gue rekam, anjir." Sahut Adam dengan tangan kanan yang mengepal di depan mulutnya.

"Ga gitu, Dam. Maksud gue ibunya Berryl," sahut Lingga dengan awalan kalimat yang sedikit gelagapan, sementara Adam menahan gelak tawanya.

Sebetulnya, pergi ke toko kaset seperti ini bersama Lingga tak masuk ke dalam agendanya hari ini. Ia akan pergi sendiri selepas dari Teruna Kafe atau esoknya.

Namun, gerimis yang terasa cukup sakit jika terkena wajah membuat Adam memutuskan untuk menepati janji pada ayahnya hari ini juga.

"Lagian, emang lo percaya dia nganter ibunya?" Tanya Adam seraya mengambil satu karton kaset, melihat kemudian mengembalikannya ke tempat semula sebelum mencari yang lain.

"Percaya ga percaya, kalau bohong juga gapapa,"

"Namanya juga usaha," lanjut Lingga membuat Adam sejenak menghentikan aktivitasnya.

"Ga, lo ... "

"Tau, ketauan kali, Dam. Bener, kan?" Lingga memastikan.

Lelaki yang mengenakan jaket coach itu telah berprasangka mengenai perasaan Berryl pada Melisa. Ia dapat menebak melalui cara sederhananya yang tanpa di sadari Melisa, lelaki itulah yang selalu ada bersamanya.

"Ini mau ga?" Tanya Lingga, menunjukkan karton kaset.

"Nah, udah dah ini aja. Yang penting lagu jadul." Diterimanya karton kaset piringan hitam salah satu lagu yang dinyanyikan mendiang Withney Houston bertajuk 'I Will Always Love You'.

Ada untungnya juga bagi Adam mengajak Lingga, karena lelaki itu dapat memilih kaset untuk ayahnya yang senang dengan lagu-lagu R&B tahun 90-an.

"Awet amat," gumam Lingga seraya melihat gerimis yang tak berkesudahan.

"Mau balik sekarang apa nunggu reda?" Tanya Adam yang telah selesai melakukan pembayaran.

Sekilas netra Lingga menatap pada barang belian Adam, kemudian menatap pada gerimis yang sepertinya akan beralih menjadi hujan deras.

"Balik sekarang, deh. Masih bisa di terobos," Lingga memutuskan.

Gemercik gerimis yang kian lebat berubah menjadi hujan deras, menciptakan genangan di sepanjang trotoar yang turut membawa dedaunan kering.

Aktivitas lalu lintas menjadi lebih lambat akibat licinnya jalanan, suara klakson yang tak seirama layaknya saling bicara, mengeluarkan keluh kesahnya karena tak tahan ingin segera sampai tujuan.

Ternyata, hujan sore ini sangat merata dan stabil. Tak ada petir atau angin yang terlalu kencang.

Sebuah bangunan berwarna putih tulang yang menjadi tempatnya bernaung kini telah terlihat. Namun, pandangannya kini teralihkan oleh gadis yang sengaja berdiri di bawah hujan seraya mengangkat telapak tangannya agar merasakan tusukan-tusukan air yang turun.

PETRICHOR  [ END ]Where stories live. Discover now