29. Ledakan Pagi

18 7 10
                                    

Rencana temu rindu lima sekawan bersama Lingga seperti yang telah disetujui sebelumnya, terpaksa dibatalkan dengan berat hati.

Bukan tanpa sebab ia membatalkan hal itu. Jadwal ujian yang nyatanya memiliki selisih hari dengan Lingga membuat lelaki itu ingin mereka fokus.

Lingga pikir, masa SMA yang sebentar lagi mencapai titik akhir lebih penting saat ini. Justru, ia akan lebih senang jika nantinya mereka bertemu, kemudian saling membicarakan kesialan masing-masing semasa ujian berlangsung.

Untuk kesekian kalinya, lelaki bersurai hitam legam itu datang lebih awal. Tentu dengan alasan yang kini membuat Lingga merutuki dirinya sendiri dalam hati.

Pasalnya, jam pertama yang akan diisi dengan mata pelajaran ekonomi akuntansi pasti akan membahas tugas pembukuan minggu lalu, sedangkan lelaki yang kini baru saja mendaratkan tasnya pada tempat duduk itu, sama sekali belum menyentuh tugasnya.

Membungkukkan badan, Lingga meraih buku besar bercorak batik yang pagi ini telah menjadi ancaman pengganti sarapan, yang siap meledakkan amarah guru berkacamata kalausaja Lingga tak segera berkutat dengan sejumlah nominal uang tak berwujud itu.

Tak hanya buku besar, tas bekal berwarna hijau yang tersimpan rapi di bawah mejanya turut mengalihkan sebagian atensi Lingga.

Diangkatnya tas bekal tersebut yang entah apa menunya. Yang pasti, Lingga tak butuh teka-teki pagi karena jawabannya sudah pasti milik gadis bersurai hitam kecoklatan.

"Eh, Lingga. Udah dateng,"

Suara gadis yang memasuki ruang kelas membuat Lingga menoleh.

"Punya lo?" Lingga nemastikan.

Melisa menggeleng. "Punya lo." Ralatnya.

"Gue sengaja nyimpen itu di bawah meja lo, biar temen rese lo itu ga gangguin lagi kayak yang udah-udah,"

"Dan gue ga nerima penolakan. Diterima, ya?" Lanjut melisa menyergah Lingga yang siap bicara.

"Dalam rangka apa?" Tanya Lingga.

Melisa tampak mengedikkan bahunya samar. "Ngga dalam rangka apapun. Gue emang mau aja ngasih itu. Ngasih sesuatu ga harus selalu pake alesan, kan?"

"Lo bawa bekel juga?" Tanya Lingga yang mendapat gelengan kepala dari gadis itu.

"Nih." Lingga menyodorkan tas hijau berbentuk kubus tersebut pada sang empu yang menautkan sepasang alisnya dengan tatapan penuh tanya.

"Kalo ngasih sesuatu ga harus pake alesan, gue kasih ini buat lo. Nanti istirahat dimakan, itung-itung hemat, kan," tutur Lingga.

"Lingga, gue sengaja bikin ini buat lo, bukan buat gue. Kenapa lo selalu ngasih jarak ke gue?"

"Kenapa lo ga bisa kasih gue sedikit kesempatan, sih?"

Perkiraan Lingga tak salah, mengenai Melisa dan perasaannya, juga tingkah gadis itu yang tak jarang menunjukkan ketertarikannya.

"Pagi-pagi udah ngelatih emosi aja,"

"Lo diem, deh!" Seru Melisa pada Agam yang baru saja tiba, hingga lelaki itu menghentikan langkahnya.

"Gue ga bisa buat pura-pura mau sama hal yang bukan kemauan gue, Mel," tutur Lingga.

Mendengar secara jelas tiap kata yang keluar dari mulut Lingga, hingga berhasil menyebabkan Melisa meninggalkan kelas dalam keadaan menangis membuat Agam tak terima.

"Cupu banget, sih, lo. Ga ada kerjaan lain selain bikin perempuan sakit?" Hardik Agam yang telah mencengkeram kerah seragam Lingga.

"Gue males ribut." Lingga berupaya melepaskan cengkeraman lelaki di hadapannya.

PETRICHOR  [ END ]Where stories live. Discover now