33. Keinginan Sederhana

18 8 8
                                    

Sebuah bangunan berwarna putih tulang yang menjadi tempatnya bernaung kini telah terlihat. Namun, pandangannya kini teralihkan oleh gadis yang sengaja berdiri di bawah hujan seraya mengangkat telapak tangannya agar merasakan tusukan-tusukan air yang turun.

Menurunkan standar motornya, Lingga melepas helm yang sejak tadi melindungi kepalanya, kemudian sedikit berlari menghampiri Renjana.

"Renjana." Panggil Lingga seraya membuka pagar rumah gadis itu yang tak dikunci.

Gadis yang dipanggil itu spontan menurunkan tangannya. "Lingga?"

"Kok ga ada yang ngawasin? Tante mana?"

"Hujan-hujanan dari kapan?" Tanya Lingga lagi kala ia melihat telapak tangan gadis itu yang telah mengerut.

"Seru," jawab Renjana tak sesuai yang Lingga inginkan.

Pasalnya, hujan telah cukup lama turun, meski curah hujannya stabil, dinginnya tetap menusuk rongga tulang jika terlalu lama berada di luar ruangan.

Merangkul lengan Renjana, lelaki yang surainya kini ikut basah membawa Renjana agar duduk pada salah satu kursi besi yang tersedia di bagian teras.

Dengan cekatan, Lingga melepas jaketnya, kemudian mengusapkan bagian dalamnya yang kering pada Renjana. Berharap gadis yang terlihat pucat itu sedikit merasa hangat.

"Tunggu, ya." Baru setengah bangkit, pergerakan Lingga terhenti karena decitan pagar yang mempersilahkan seseorang masuk dengan sedikit tergesa.

"El, kok, basah gitu?" Dengan nada yang terdengar khawatir, Linda segera menaruh kantong belanja serta payung lebarnya.

"Ayo, masuk." Wanita itu merangkul Renjana ke dalam rumah, diikuti Lingga yang membantu membawa kantong belanja milik wanita itu.

"Kenapa hujan-hujanan lagi, sih?" Tanya Linda seraya menggasah rambut Renjana dengan handuk hijau muda.

"Kalo sakit gimana?" Lagi, Linda bertanya dengan netra yang menatap Lingga sekilas.

Lelaki yang mematung di tempat dengan keadaan sama basahnya, hanya mengulum senyum kikuk kala menangkap sorot mata Linda.

Dirasa cukup menggasah surai keponakannya yang tak kering sempurna, Linda membawa gadis itu berdiri untuk berganti pakaian.

"Kamu juga ganti baju, nanti keburu masuk angin." Titah Linda, seraya menyodorkan jaket basah milik Lingga.

Telapak tangan yang mengeriput dingin itu lantas mengambil alih jaket miliknya yang kini telah basah hingga dalam, kemudian meraih tangan Linda dan menciumnya.

"Pamit, Tante."

"Makasih ya, Lingga," tutur Renjana.

"Sama-sama. Istirahat, ya." Sahut Lingga.

Mendapat anggukan dari gadis di hadapannya, Lingga yang tahu diri segera berjalan keluar.

Hujan yang derasnya belum berubah membuat Lingga menutup kepalanya yang terlanjur basah menggunakan jaket, berjalan ke area luar pekarangan, kemudian menutup pagar besi dingin yang beberapa bagian warna putihnya telah pudar karena karat.

***

Semakin hari, beban-beban serta masalah yang hilir mudik rasanya berangsur surut.

Mungkin, ini adalah satu keadilan. Dimana Tuhan tak akan memberi cobaan di atas kemampuan hambaNya. Berbagai problematika dari sudut yang berbeda seakan menahan diri masing-masing untuk beraksi seiring Lingga yang akhir-akhir ini merasa lebih cepat lelah.

PETRICHOR  [ END ]Where stories live. Discover now