18. Luka Yang Terbuka

73 42 64
                                    

"Lingga? Kamu Lingga teman kecilnya Renjana?" Selidik Linda.

"Tante, ayo masuk," ucap Renjana berusaha mengalihkan Linda.

Ia tahu, hal buruk akan terjadi jika ini semua terus dibiarkan.

"Diem, El. Tante lagi bicara sama dia." Ucap Linda dengan nada penuh peringatan yang membuat Renjana diam seribu bahasa.

Sedangkan Lingga diselimuti rasa bingung karena sikap wanita dihadapannya.

"Benar itu kamu?" Desak Linda.

"Iya, Tante. Saya, Lingga. Temen kecilnya--"

Plak!

"Tante!" Teriak Renjana berusaha menjauhkan Linda dari Lingga dengan perkiraannya sendiri.

Lingga memegang pipi kanannya yang memanas akibat tamparan dari Linda.

Lelaki itu betul-betul bingung sekaligus terkejut. Tak ada yang bisa Lingga lakukan selain terus memegang pipi kanannya dan menatap Linda tak percaya.

"Kenapa kamu ngeliatin saya? Ga terima, hah?!" Ucap Linda yang terus berusaha ditenangkan oleh Renjana.

"Perkiraan saya ga salah. Ternyata yang ngisi rumah itu emang pemilik lama," tutur Linda meredam amarahnya.

"Tante, udah. Jangan diperpanjang lagi,"

"Apa, sih, El?! Kamu sadar dong! Dia yang udah bikin kamu kayak sekarang. Kehilangan semuanya!" Linda menepis Renjana yang terus berusaha menghentikan Linda.

"Tante, cukup!" Teriak Renjana tak kuasa menahan air matanya yang sejak tadi terbendung dipelupuk mata.

Renjana menangis dan tentu Lingga tak tega melihatnya. Bukankah saat seperti itu dirinya sangat dibutuhkan oleh Renjana untuk memberikan bahunya atau sekedar tangannya untuk menguatkan? Namun, Sepertinya Linda sudah tak dapat menahan emosinya hari ini.

"Ren--"

"Diem!" Linda menahan pergerakan Lingga yang hendak mendekat pada Renjana dengan jari telunjuknya.

"Sadar, El. Kamu ga seharusnya nerima dia di hidup kamu untuk kedua kalinya."

"Kamu lupa siapa yang bikin kamu kehilangan banyak hal salah satunya orang tua? Dia, El. Dia yang sekarang muncul lagi di depan kamu." Lanjut Linda seraya memegang kedua bahu Renjana yang semakin bergetar akibat tangis yang tak berkesudahan.

Lingga tak tuli. Ia jelas mendengar semua penuturan Linda dan melihat bagaimana sakitnya Renjana saat lukanya terbuka lagi. Ia paham, bahwa Linda juga pasti sakit.

Kini rasanya isi kepala Lingga terlalu penuh akan hal-hal yang sulit dijelaskan. Bahkan, untuk sepatah katapun lidahnya terasa kelu, sekian banyak kosa kata rasanya hanya tersangkut di ujung tenggorokan.

Sisi rapuh Renjana kini terlihat jelas. Suara isakannya terdengar sangat sakit akibat luka yang terlalu dalam.

Gadis itu terus terisak seraya mengisyaratkan pada wanita di hadapannya agar berhenti menuang cuka pada luka yang keringnya bahkan belum sampai merata.

Lantas Linda merengkuh tubuh Renjana yang bisa jatuh jikasaja dibiarkan terus berdiri tanpa rengkuhannya.

Tak ada yang bisa Lingga deskripsikan selain sakit untuk saat ini. Ia merasa telah menjadi orang yang amat jahat karena telah meninggalkan seseorang dalam keadaan bersalah selama bertahun-tahun.

Ternyata memang sefatal itu. Jika ada kata di atas fatal, maka Lingga akan memilih kata tersebut untuk menobatkan tingkat kesalahannya sendiri.

Sekarang, semuanya terasa buntu. Otaknya menolak untuk diajak berpikir ke satu arah karena yang ia tahu saat ini, dirinya seperti pisau panas yang menembus kulit mulus Renjana dan menetap sangat lama hingga menimbulkan luka parah untuk gadis itu.

"Pulang." Linda mendorong tubuh lelaki tujuh belas tahun di hadapannya setelah berhasil membawa Renjana ke kursi yang sebelumnya diduduki Lingga.

"Tante--"

"--Pulang."

"Kalau kamu masih punya rasa peduli, pulang." Lanjut Linda yang berhasil membawa Lingga keluar pagar.

"Jangan temui Renjana sampai saya sendiri yang mengizinkan," tegas Ratna dengan hidung yang memerah karena ikut menyumbangkan air matanya.

Setelah pagarnya berhasil dikunci, lantas wanita itu meninggalkan Lingga yang terus berdiri pada tempatnya sampai Linda benar-benar hilang dari pandangannya diikuti pintu yang ditutup.

Ia berbalik, melihat motor tuanya yang belum selesai dibersihkan, lalu memejamkan matanya dan menghela napas seraya melangkah memasuki area rumahnya dengan keadaan yang kacau.

"AARRGGHH!!" Teriak Lingga mengacak rambutnya frustasi usai menutup pintu kamarnya dengan kasar.

Menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur empuk dengan posisi tertelungkup membuatnya merasa semakin serba salah.

Haruskah moodnya hancur hari ini? Pagi ini? Atau pertanyaan yang lebih layak; bahagia seperti apa yang tengah Tuhan siapkan untuk Renjana sampai prosesnya sesulit, sesakit dan seberat ini?

Persetan dengan rasa panas yang menjalar di pipi kanannya akibat tamparan Linda beberapa menit lalu. Ucapan wanita itu sebelum menutup pagar justru terasa lebih mengigit sampai ke hati.

Tak ada yang bisa ia jamin saat ini. Termasuk tentang dirinya dengan Renjana yang telah diberi jarak secara terang-terangan oleh Linda.

Lampu merah dulu

Vote komen biar Pal cepet cepet nyalain lampu ijo lagi oke?

Stay healthy && happy, darl

PETRICHOR  [ END ]Where stories live. Discover now