34. Tumbang

22 8 7
                                    

Satu minggu yang selalu lebih cepat rasanya, berbagai keluh kesah mengenai kesulitan menjawab, lupa rumus, hingga cuap-cuap tentang pengawas yang tak jarang dicurahkan sembari menikmati jajanan kantin. Kini, hal-hal itu akan usai sebentar lagi.

Ketukan hak sepatu tinggi yang terus mondar-mandir melewati setiap meja, lebih terdengar seperti ketukan detik penunjuk waktu.

Sorot matanya yang tak lepas dari tiap kertas, tentu menyulitkan peserta ujian untuk sekedar menoleh ke kiri dan kanan.

"Lima belas menit lagi." Ucap pengawas wanita tersebut, seraya melirik jam tangan mungil yang terlihat cocok dengan tangan kurusnya.

Empat lembar delapan halaman yang memuat berbagai materi ulasan kelas sepuluh hingga kelas dua belas. Melibatkan kata majas serta kaidah-kaidah kebahasaan yang terpampang jelas dirangkum dalam lima puluh soal, rasanya bukan hal menyulitkan jika ingatannya kuat.

Begitupun dengan Lingga. Memang ternyata, belajar sebelum ujian lebih membantu.

Mengandalkan daya ingatnya, lelaki yang tengah memutar-mutar pensil diantara jarinya itu terus berpikir.

Di akhir-akhir soal seperti ini, ia justru kembali dirundung rasa nyeri pada dadanya. Ratusan kata yang tersusun menjadi kalimat tanya maupun perintah seakan menjadi kalimat tak bersusun yang sulit diartikan.

Lingga memejamkan matanya sejenak, meraup oksigen sebab ia membutuhkan air saat ini. Sialnya, tak ada sebotol air di atas mejanya.

Dari ekor matanya, Lingga dapat menangkap sesuatu yang tengah memperhatikannya. Benar saja, Melisa langsung melayangkan kata, "kenapa?" Tanpa suara.

Lingga hanya menggelengkan kepalanya samar, kemudian kembali menatap kertas ujiannya.

Alih-alih mendapatkan jawaban kala sepasang netra serta otaknya bekerja sama, yang ia temukan justru bercak darah yang melebar, menodai kertas bersih dihadapannya.

"Ling," panggilan samar yang hampir tak terdengar itu tak mampu melesak hingga ujung pendengaran Lingga.

Bruk!

"Lingga!" Teriak Melisa beringsut menghampiri Lingga yang tumbang.

Keadaan kelas menjadi tak terkendali, tujuh belas murid lainnya serta pengawas wanita itu mendekati Lelaki yang terkapar dalam keadaan hidung mimisan.

"Disini ada anggota PMR? Atau kamu, sama kamu tolong bawa ke UKS." Titah pengawas tersebut seraya menunjuk dua murid lelaki.

Karena tak memungkinkan jika Lingga dibopong menggunakan tangan kosong sampai UKS yang berada di lantai dasar, dengan cekatan Melisa segera keluar kelas.

"Eh, kamu mau kemana?!" Tanya pngawas itu sedikit berteriak.

"Ngambil tandu, Bu!!" Jawab Melisa yang kemudian hilang dari balik pintu.

Berlarian melewati ruang sebelas, berhasil mengalihkan atensi Berryl serta Adam yang saling pandang.

"Pak." Berryl mengangkat tangannya.

"Saya udah selesai, boleh ke toilet?" Tanya Berryl.

"Saya juga udah, Pak." Sambung Adam.

"Kalian mau ke toilet bareng-bareng?" Tanya pengawas pria tersebut.

"Iya, Pak." Jawab Berryl serta Adam yang sontak menimbulkan tawa dari murid lainnya.

Pengawas itu tampak berpikir sejenak kemudian menjawab, "Silakan. Jangan terlalu lama karena sebentar lagi bel,"

Dengan segera dua manusia itu bangkit, sedikit berlari untuk menghilang dari pandangan penghuni ruangan.

"Lo mikir apa?" Tanya Berryl di tengah langkah tergesa mereka.

"Ga tau, gue ngikut lo," jawab Adam.

"Emang lo mikir apaan?" Tanya Adam.

"Mikirin Melisa." Jawab Berryl seraya memukul pelan dada Adam, kemudian berlari.

Irama berlari keduanya yang tak seimbang terus menyusuri tiap koridor, hingga terhenti kala berpapasan di ujung tangga dengan Melisa yang membawa tandu berwarna jingga.

"Nah, pas banget ada lo berdua," ucap Melisa dengan napas yang sedikit memburu.

"Ada apaan, sih? Itu tandu buat siapa?" Tanya Berryl.

"Lingga pingsan. Bantuin bawa dia ke UKS, ya?" Pinta Melisa, menatap bergantian pada Berryl serta Adam.

"Hah?!"

"Nanti aja kagetnya," sergah Melisa.

"Cepetan." Gadis itu menyerahkan tandu yang langsung diterima oleh kedua lelaki di hadapannya, kemudian mendorong mereka agar lebih cepat menuju ruang dua belas.

***

Secangkir teh panas yang dua puluh menit lalu dibuat oleh Melisa, kini hampir dingin.

Dua manusia yang sejak tadi tak beranjak dari ruangan ternyaman di sekolah itu, terus menunggu Lingga sadar setelah diminta tetap bersama Lingga oleh guru piket.

"Dam," panggilan dari suara parau yang sejak tadi ditunggu-tunggu akhirnya terdengar.

"Eh, udah bangun." Sahut Adam segera membantu Lingga duduk.

"Mimpi apaan, Ling?" Tanya Berryl.

"Mimpi lo jadian sama Melisa," jawab Lingga, membuat Berryl menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Lo kenapa bisa begitu?" Tanya Adam yang telah duduk di bibir brankar kosong.

"Ngagetin anjir," sambung Berryl.

"Kecapekan," jawab Lingga.

"Syukur lo udah bangun," suara perempuan yang melesak di penjuru UKS mengalihkan atensi tiga lelaki yang ada.

Melisa memasuki UKS seraya memberikan dua tas milik Berryl serta Adam yang turut ia bawakan.

"Udah, thanks, Mel." Jawab Lingga, menaruh kembali secangkir teh yang hampir tandas.

"Ayo, balik," ajak Lingga.

"Lo kuat bawa motor? Kalau ga kuat, biar gue yang bawa, nanti Melisa bawa motor gue." Usul Berryl.

"Lo bisa bawa motor matic, kan?" Tanya Berryl.

Melisa menatap Berryl tak percaya, lalu menggelengkan kepalanya. "Gue ga bisa nyetir motor." Ungkapnya.

"Kuat gue, kan, ada Adam yang searah," tutur Lingga.

"Gue ikut nganterin, deh," ucap Berryl.

Atas persetujuan Lingga, kini perjalanan pulang menuju rumahnya dikawal oleh Adam serta Berryl yang turut membawa Melisa di belakangnya.

"Lo khawatir sama Lingga?" Tanya Berryl, dengan sepasang netra yang terus memandang punggung penunggang motor tua di depannya.

"Lo khawatir ga?" Melisa balik bertanya.

"Khawatirlah. Dia, kan, temen gue,"

"Yaudah, sama. Lingga juga, kan, temen gue." Tanggap Melisa dengan sedikit penekanan pada kata teman yang ia ucap.

Ia pikir, yang sedang dibutuhkannya saat ini bukanlah seseorang dengan hubungan yang lebih dari teman. Namun, tentang siapa yang dapat memberinya rasa nyaman tanpa perjuangan yang melelahkan diri sendiri.

PETRICHOR  [ END ]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant