22. Paket Malam

56 32 58
                                    

Setelah kejadian mimisan tempo hari, Lingga memutuskan untuk lebih banyak mengistirahatkan diri guna menjaga stamina tubuhnya.

Hari ini Lingga pulang tepat waktu lagi. Sejak pukul empat lelaki itu hanya menghabiskan waktunya di dalam rumah dengan mencoba menyibukkan dirinya hingga kini, hampir pukul sepuluh ia dirundung gelisah karena Ratna dan Dion belum juga sampai.

Pasalnya, hari ini Ratna memutuskan untuk pulang dengan taksi atau ojek online. Bukan karena mobil yang sejak tadi pagi terparkir rapih di depan rumah memiliki masalah, melainkan Ratna memiliki kendala waktu yang mengharuskan ia menggunakan jasa ojek online bersama dengan Dion pagi tadi.

Sederet pesan telah lingga kirimkan sejak jam pulang kantor Ratna seperti biasanya. Mulai dari Lingga yang menanyakan Ratna akan pulang telat atau tidak, sudahkah wanita dan adiknya itu mengisi perut, mewanti-wanti Ratna agar hati-hati dan selalu mengabarinya jika terjadi sesuatu. Namun, tak satupun tanggapan yang Ratna berikan.

Sekitar sepuluh panggilan telah Lingga sambungkan dan selalu saja hanya menghasilkan suara mailbox.

"Maaf, nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi. Sorry, the number--"

Lingga melempar asal ponselnya ke atas kasur dan ikut merebahkan dirinya yang telah kehabisan cara untuk menghubungi Ratna. Jikasaja Lingga menyimpan nomor kantor baru Ratna, mungkin tak akan sesulit ini.

Ditatapnya langit-langit kamar putih polos tanpa debu, Lingga meraup oksigen sebanyak yang ia bisa kemudian menghembuskannya.

Deru motor yang tak begitu bising terdengar jelas diantara heningnya keadaan luar. Lingga beringsut bangun, berharap itu adalah ojek yang ditumpangi oleh ibu dan adiknya.

Memastikan dari balik gorden, ternyata deru motor tadi berhenti tepat di depan pagar rumah Renjana.

"Misi, paket!" Teriak si penunggang motor.

Satu hal yang menyadarkan Lingga adalah jaket jersey yang dikenakan lelaki itu serupa dengan yang dikenakan Agam saat di cafe.

Lelaki itu lantas turun dari motornya kala pintu seberang sana terbuka dan menampilkan sosok Linda. Membuka helm dan menyimpannya di jok menjawab betul terkaan Lingga yang mengira bahwa lelaki itu adalah Agam.

Dari jarak yang bukan lima langkah, tentu menyulitkan Lingga untuk mengetahui topik apa yang mereka perbincangkan, hingga membuat Linda kembali ke dalam rumah kemudian membawa Renjana ke hadapan Agam.

Lelaki dengan jaket jersey itu menyodorkan satu paper bag yang diterima oleh Linda. Kini, Lingga merasa dirinya seperti seorang penonton drama, dimana seorang lelaki berlagak layaknya kurir yang mengantar paket malam sebagai kejutan kecil untuk kekasihnya.

Sedikit lagi perbincangan yang sama sekali tak masuk ke telinga Lingga, sebelum akhirnya tangan Agam terulur untuk mengusap pucuk kepala gadis di hadapannya tanpa canggung pada Linda.

Dengan sekian partikel rasa sabar yang berangsur menggumpal dalam bentuk cemburu, lelaki itu menutup paksa gorden yang tak dapat memberi perlawanan.

Beralih pada meja belajarnya, lelaki itu kembali meraih secarik kertas binder bermotif kartun Cinderella. Melihat tulisan tangan yang terbilang rapih untuk anak usia delapan tahun yang hanya terpaut satu minggu saja dengannya membuat sudut bibirnya sedikit tertarik.

Dilipatnya secarik kertas tadi mengikuti garis yang telah tercipta sejak lama, mungkin ia akan meminta pegawai fotocopy untuk melakukan press laminating pada kertas tersebut suatu saat. Tepatnya saat ia telah benar-benar bersama dengan Renjana, lalu memajangnya di satu sudut ruangan dan menertawai satu sama lain.

Sepasang matanya tertuju pada kertas jadwal Try Out yang hanya tinggal hitungan hari, lalu beberapa kertas memo berwarna putih polos bertuliskan jadwal praktikum, bahan praktikum hingga daftar lagu untuk ia nyanyikan ulang yang telah terealisasi dan tergeletak begitu saja tanpa ada niat untuk membuangnya.

Lagi-lagi atensinya teralihkan oleh deru motor serta suara Ratna yang samar-samar melesak ke indra pendengaran Lingga.

Tanpa memastikan terlebih dahulu, intuisinya berkata bahwa itu adalah ibu dan adiknya.

"Makasih, ya, Pak."

Melihat Ratna yang tengah memberikan uang pada sang supir ojek serta Dion yang mulai berjalan mendekat berhasil menghilangkan rasa gelisah yang sejak tadi merundungnya dengan tak sopan.

"Tumben bukain pintu." Ucap bocah lelaki yang tingginya hanya sebatas pinggang Lingga.

"Bukannya makasih." Tanggap Lingga menatap punggung Dion yang langsung berbalik hanya untuk menjulurkan lidahnya saja. Menjengkelkan tapi tak dapat ia pungkiri bahwa jutaan sikap menyebalkan Dion tak akan mampu mengikis rasa sayang Lingga untuknya.

"Mama kenapa ga bisa dihubungin sama sekali?" Tanya Lingga setelah mencium punggung tangan Ratna.

"Maaf, ya, hp Mama mati dari sore, terus Mama tinggal cas. Baru Mama nyalain lagi waktu mau pesen ojek tadi. Mama bales kamu tapi kamu udah off duluan, kirain udah tidur," tutur Ratna menjelaskan.

Lingga mengangguk paham. "Yaudah, Mama masuk, Lingga mau tutup pager." Ucapnya beranjak dari ambang pintu.

"Jangan lupa kunci pintunya, ya." Titah Ratna seraya berjalan melewati anak sulungnya.

Kedatangan Ratna dan Dion ternyata tak menemukan mereka dengan Agam yang entah sejak kapan perginya.

Mengingat kurir dadakan itu hanya menambah prajurit perang di dalam kepalanya saja. Terlebih peringatan Linda yang kini seperti menjadi pembatas tersulit. Namun, bukankah setiap bahagia memiliki proses yang tak biasa?

Siapa disini yang kalo batre hpnya masih 60% udah di cas? Keren si yang begitu

Btw, Agam semakin di depan, jadi kurir dadakan berkedok modus. Waduh. masih support Lingga ga? Atau udah oleng? Komen ya, vote juga si

Stay healthy && happy, darl

PETRICHOR  [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang