13. Balkon

85 54 97
                                    

Hari ini, guru ekonomi yang mengajar pada jam terakhir tidak hadir. Dari informasi yang didapat, guru itu dikabarkan sakit. Meski begitu, beliau tetap menjalankan kewajibannya dengan tetap memberikan tugas.

Alih-alih mengerjakan, justru keadaan kelas di sore ini tak teratur. Semua sibuk dengan urusannya masing-masing termasuk Lingga dan dua anteknya; Berryl dan Adam.

"Mundur-mundur!"

"Bentar-bentar." Sahut Berryl yang fokus pada layar ponselnya.

"Mundur anjrit, lo ngapain diem!" Ucap Adam yang juga fokus pada ponselnya sambil terus menggerakan ibu jarinya dengan lihai diatas layar pipih itu.

"Bentar woi, jaringan gue lag." Sahut Berryl tampak frustasi.

"Ah, elah!" Keluh Adam dengan wajah kecewa sekaligus kesal saat game yang ia mainkan bersama Berryl dimenangkan oleh tim lawan.

Berryl yang melihat Adam hanya menunjukan cengirannya dengan sederet gigi yang ia perlihatkan.

"Ah, lo!" Adam melempar pulpen yang tepat mengenai dada Berryl hingga tawa lelaki itu semakin menjadi karena merasa geli atas tingkah kekanak-kanakkan Adam.

"Serius banget lo lagian. Kalem, kayak Mas Lingga." Ucap Berryl yang sudah puas dengan tawanya.

Lingga sedaritadi memang tidak banyak bicara, lelaki itu tengah fokus pada gitar akustik yang ia pinjam dari Reno -teman sekelas juga yang kebetulan membawa gitar hari ini.

Sedangkan Melisa, tentu gadis itu sedaritadi memperhatikan permainan gitar Lingga. Tatapan memujanya tak lepas dari wajah serius Lingga hingga jemari lelaki itu yang lihai memetik senar.

"Lo sambil nyanyi, dong," pinta Melisa.

"Gue ga bisa nyanyi," jawab Lingga bohong.

"Yaudah, gue aja yang nyanyi," tawar Melisa membuat Adam dan Berryl saling tatap.

Setelah menentukan lagu, gadis itu mulai bernyanyi.

Baru beberapa kata, suara Melisa memang tidak seburuk yang dikira atau bahkan sampai merusak telinga. Namun, dapat diakui bahwa memang seharusnya Lingga saja yang bernyanyi.

"Jam berapa?" Tanya Lingga disela-sela permainan gitarnya.

"Tiga lewat tiga belas," jawab Adam melihat dari ponselnya.

Lingga menoleh ke tempat duduk Reno yang kebetulan melihat kearahnya. Dengan isyarat yang Lingga berikan, Reno beranjak menuju kursi Lingga.

"Thanks, ya." Lingga memberikan gitarnya pada Reno.

Sedangkan Melisa, gadis yang tengah syahdu bernyanyi itu langsung membuka matanya dan mengehentikan nyanyiannya.

"Ih, Reno! Gue, kan lagi nyanyi," protes Melisa.

"Nih." Reno menyodorkan gitarnya pada Melisa.

Kriiinngg ... Kriinngg ... Kriiinnggg!!

"Ga jadi." Tolak Melisa ketus lalu kembali ke tempat duduknya dan bergabung dengan ke lima dayangnya yang sedari tadi sibuk mempercantik diri.

Bel tiga kali yang menandakan waktunya pulang membuat seisi kelas sibuk mempersiapkan diri untuk pulang hingga satu persatu mulai menghambur ke luar kelas.

Beruntug Melisa hari ini tak mengajak Lingga pulang bersama, karena kedengarannya gadis itu akan pergi ke satu tempat bersama dayang-dayangnya.

"Lo berdua pada langsung balik, kan?" Tanya Berryl ditengah perjalanan.

"Gue mau ke ruang OSIS dulu, mau nyiapin buat sertijab," jawab Adam.

"Barengin ga, Ling?" Tanya Berryl setelah ber-oh ria.

"Duluan aja, gue mau ketemu sama Pak Bembi dulu," Jawab Lingga.

"Oke, deh. Gue duluan, ya. Mau nganterin emak tercinta." Pamit Berryl bersalaman dengan kedua temannya sebelum pergi.

Tak lama, Adam pun ikut pamit untuk jalan lebih dulu karena telah ditunggu sejak rapat OSIS satu jam lalu yang sengaja tak ia ikuti.

Jujur, Lingga tak akan bertemu Pak Bembi atau guru lainnya. Ia hanya merasa sedang ingin sendiri.

Langkah kakinya terus menyusuri koridor lantai dua. Dari atas sini, Lingga bisa mendengar adanya aktivitas di lapangan.

Mendekati balkon, Lingga menumpu kedua tangannya dan melihat ke arah lapangan yang tepat berada di bawahnya menampilkan anak-anak ekstrakurikuler paskibra yang tengah berlatih.

Sekitar sepuluh menit kiranya Lingga hanya berdiri seraya memandang ke bawah hingga seseorang yang datang ikut bergabung menjadi penonton di sampingnya membuat Lingga menoleh.

"Kalo lo belum puas, jangan disini," ucap Lingga mewanti-wanti pada lelaki disampingnya yang hanya terkekeh sambil terus memandang ke bawah.

Tak ada respon lebih dari lelaki itu, Lingga juga memilih untuk diam enggan beranjak.

"Lo sayang sama dia?" Tanya Agam memecah keheningan.

"Lo tau, dia sesayang apa sama lo?" Lanjut Agam.

Tak ada jawaban. Agam berbalik menghadap Lingga. Bersidekap dada lalu menghela napas.

"Kalo lo sayang sama dia, tunjukin," ucap Agam membuat Lingga semakin bingung.

"Sejauh apa lo tau soal gue?" Tanya Lingga.

"Banyak dan ga perlu gue yang jelasin kalo lo bisa sadar diri," tanggap Agam.

"Tujuan lo apa nyuruh gue deketin cewek lo? Lo mau bikin gue bonyok lagi?" Akhirnya Lingga menanyakan apa yang mengganjal pikirannya.

"Cewek gue? Lo mikir dia cewek gue?" Tanya Agam terkekeh.

"Gue cuma dianggap sahabat." Lanjut Agam menjawab rasa penasaran Lingga.

"Maksudnya, lo ngajak gue bersaing?"

"Lo kebanyakan nanya. Kalo lo mau, tunjukin. Kalo ngga, ga usah. Perlu lo tau, harusnya gue ga ngelakuin ini kalo lo ngiranya gue cowok dia dan kalo bukan karena dia."

"Satu lagi. Dia yang gue maksud tuh Renjana. Semoga lo daritadi paham." Lanjut Agam sebelum melenggang meninggalkan Lingga sendirian lagi.

Bahkan, tanpa perlu diperjelas seperti itu pun Lingga sadar yang sedaritadi menjadi topiknya dengan Agam adalah Renjana.

Lampu ijo nih? Ngebut jangan?

Semangatin Lingga sama pal pake vote komen kalian yaa

Stay healthy && happy, darl

PETRICHOR  [ END ]Where stories live. Discover now