1

8.6K 617 84
                                    

Entah kenapa mimpi terasa sangat panjang. Aku tidur sekitaran jam delapan, bangun-bangun sudah kesiangan. Tepat jam tujuh gerbang sekolah sudah ditutup, pak satpam menghukumku squat jump di depan tiang bendera. Agar aku kapok, katanya. Agar aku bisa lebih memaknai arti disiplin, lanjutnya.

Satpam itu tidak salah. Sekolah memang tempat yang tepat untuk mengajarkan murid-murid arti bertanggung jawab terhadap waktu (meskipun di penjuru bumi lainnya mereka lebih senang sekolah menjadi tempat bermain). Kali ini aku tidak membantah, sebab satpam itu benar.

Di bawah awan yang menudungi kepala, keringatku terus menetes melalui pelipis, dadaku kembang kempis, aku meringis. Di tengah-tengah gempuran teriakan satpam yang menghitung lompatan, kuingat-ingat lagi bagaimana mimpi tadi malam bermula:

Seharusnya mimpinya tidak panjang. Aku lagi jalan-jalan menjelajahi alam liar, terkadang menyepak ilalang yang menghadang, seringnya bernyanyi walau tak ingat lagu apa yang dibawakan (aku yakin suaraku merdu!). Melalui jalan setapak yang meliuk, aku dituntun menuju ke sebuah taman kembang.

Bayangkan saja ada taman luas di hutan belantara. Rumputnya dipapak rapi bersih, tapi kembangnya tumpang tindih rebutan tanah. Misalnya, kembang mawar rebutan tempat dengan bunga matahari; tapak dara ditindih kembang kasturi; bunga krisan kalah saing dengan lebatnya melati. Kalau mau lewat harus hati-hari, takut-takut ujung duri kaktus melukai betis.

Sekarang tinggal tambahkan satu detail terakhir: semua tanaman yang ada di sana berwarna hitam. Jadi yang tadi membayangkan bunga warna-warni macam pelangi mohon diganti, sebab yang kulihat kembang-kembang berwarna hitam.

Dari segala hitam, sebuah pohon beringin-lah yang paling pekat. Ia paling raksasa di antara semuanya. Ibarat sekumpulan penduduk desa, ialah yang dituakan. Begitu digdayanya beringin itu. Semua kembang mengarahkan tubuh padanya, seakan-akan ia adalah satu-satunya matahari yang memberikan mereka cahaya.

Aku tahu ini bukan taman yang normal. Demi apa pun, anak kecil bakal menangis kencang kalau diajak bertamasya di sini. Selain pemburu tempat mistis, orang lain bakal berpikir dua kali. Aku pun bukan pencinta horor dan genre sejawatannya. Bukan minatku datang kemari.

Tapi mimpi adalah mimpi. Selagi tidak bisa menggenggam kesadaran penuh, aku akan dituntun pergi menjelajah dunia yang tak pernah kulalui.

Sama halnya dengan mimpi-mimpi yang berulang kali terjadi, kakiku tetap melangkah mendekati pohon beringin itu. Akar gantung hitamnya lebat—selebat rambut hitamku. Ia berayun-ayun, sama seperti rambut saat kusibak pelan. Dari tirai beringin itulah kulihat anggrek hitam melilit kuat di batang pohon layaknya bebatan kain hitam.

Kuusap kelopak anggrek, tapi tak kurasakan teksturnya. Jangankan ini, tak bisa kudengar-kuraba-kucium-kukecap semua yang ada di mimpi. Satu-satunya yang berfungsi hanya indra penglihatanku.

Demi apa, bunga anggrek mahal harganya—apalagi anggrek hitam. Di sini aku bisa melihatnya bermekaran di batang beringin. Jika ibu-ibu melihat ini, aku yakin tanpa pikir panjang mereka bakal mencuri.

"Kau suka taman buatanku?"

Lalu aku bangun.

Selesai sudah mimpinya.

The Crying Whales

Transisinya cukup kasar (tahu-tahu aku bangun tidur). Pokoknya aku sedang jalan-jalan santai di hutan, kemudian dituntun ke taman hitam. Tak lama melihat anggrek hitam—yang kembar seluruhnya—kudengar ada suara seorang pria bertanya.

Kan sudah kukatakan kalau satu-satunya yang berfungsi dari indraku adalah penglihatan. Aku meyakini itu. Tetapi ada beberapa hal dalam mimpi yang seolah-olah seseorang—entah siapa pun—sedang mengajakku mengobrol. Meskipun tak kudengar secara langsung suaranya, aku yakin ia sedang berbicara dan aku memahami itu.

The Crying WhalesWhere stories live. Discover now