12

1.2K 255 21
                                    

Hujan tak kunjung reda. Mendungnya awet menggantung di ketinggian, memayungi kota tua dengan kegelapan. Ceruk-ceruk yang kulalui penuh dengan air, malah tumpah ruah sampai menggenangi mata kaki. Tak jauh dari ceruk-ceruk yang beredar, kudapati sebuah telaga mini dilingkupi oleh semak belukar panjang. Tak lama setelahnya malah kutemui reruntuhan sebuah gedung bank, tidak jelas bagaimana bentukannya sebab sebagian sudah busuk tertimbun liana-liana liar.

Pada perjalanan yang kesekian aku melintasi sebuah pemakaman mobil di pinggir jalan. Mereka teronggok tidak keruan, tumpang tindih, menggunung, tergencet, terguling, teronggok. Karatnya secara aktif menggerogoti seluruh bagian warna mobil. Kaca-kacanya pecah, berceceran remahannya mengitari jalanan. Walhasil air bisa leluasa masuk, sedikit demi sedikit memenuhi seisi mobil—menjadikannya sebagai akuarium.

Jauh di belakang pemakaman mobil, ada berpuluh-puluh gedung yang masih kokoh menghujam langit. Siluetnya naik turun seperti undak-undakan tak beratur. Saat kuhampiri, tiada lampu-lampu yang menerangi.

Semua jendelanya tanpa kaca, seolah-olah gedung baru saja selesai dibuat namun keburu ditinggalkan pemiliknya. Kukatakan demikian karena dari semua bangunan, gedung-gedung di sinilah yang paling kokoh. Sebangkai-bangkainya tampilan sebuah gedung, paling pol hanya berlumut dan dirambati liana.

Di antara semua gedung yang gagah menjulang, terdapat sebuah gedung pencakar langit yang paling tinggi dari semuanya. Kepalanya tertutupi awan yang sedang menggantung rendah, tidak jelas bagaimana rupanya, tapi kurasa ujung gedung tersebut paling-paling sama seperti gedung pada umumnya.

Kupikir berjalan menuju ke sana tidak buruk-buruk amat. Jadi mantap kuputuskan untuk datang saja ke gedung tertinggi itu. Aku tidak tahu pasti apa motivasiku, tapi kurasa sebelum bangun dari tidur, ada baiknya sedikit berkeliling.

Langkah kakiku diiringi oleh seekor paus lainnya. Maksudku ada seekor paus terbang yang juga terbang ke arah yang sama. Paus tersebut mengepakkan siripnya, terbang lemah ke arah yang tak kutahu di mana ia akan berlabuh setelahnya. Karena saking lambatnya, aku bisa berlari kencang dan sampai lebih dulu ke gedung tinggi itu berada.

Namun aku ragu masuk ke dalam. Gedungnya sangat gelap. Segelap-gelapnya malam masih ada serpihan bintang atau lembayung bulan, tetapi bagian dalam sini sangat gelap sampai-sampai sebuah bongkahan batu yang kulempar tidak lagi terlihat wujudnya.

Di saat aku ragu-ragu, paus di atasku berlalu lebih dulu. Ia mendorong dirinya naik ke atas awan lalu menghilang dari balik mega mendung. Sementara itu aku terdiam sendirian ditemani sebuah payung.

"Mungkin lebih baik aku keliling lagi saja."

Kuikuti sulur-sulur aspal yang retak. Tidak peduli lampu jalan yang difungsikan menerangi paraspalan malah mangkrak, aku terus berjalan ke mana kaki membawa pergi. Setelah semua bangkai gedung kulalui, pun menjumpai koloni lumut dan pakis yang menghinggapi, aku masih tak kunjung menemukan sebuah kompleks kehidupan lainnya.

Tidak ada ruko-ruko dan pedar lampu yang menyala. Dengan segera aku melihat sekelilingku. Tidak ada apa pun selain bangkai gedung dan tamanan liar yang merambat. Sementara itu, awan berkelabu semakin pekat, ia terus-terusan mengeluarkan banyak air.

Lebih daripada itu, tidak ada tanda-tanda aku segera dibangunkan.

Kuperiksa lengan yang tadi terkena parut. Lenganku sudah mulus seperti semula. Kalau lenganku kembali sehat, seharusnya ini masih mimpi.

Aku tidak mengira mimpi akan senyata ini. Jemariku bisa basah terkena hujan, tubuh ini bisa kedinginan, bau lembap terasa menyengat di hidung.

Aku mencari sebuah tempat berlindung di bawah kolong jembatang, kucoba untuk menutup kedua mata agar segera tertidur dengan harapan aku akan bangun tanpa bantuan Ibu. Namun aku sungguh tidak benar-benar bisa terlelap. Kepalaku memikirkan banyak hal sampai aku tidak bisa mengehentikan pikiranku sendiri.

Lantas aku membenturkan kepala ke dinding dua kali, tetapi berakhir jidatku jadi cenat-cenut. Kepalaku juga unyeng-unyengan. Aku sengaja menceburkan diri ke genangan air, namun malah basah lagi sekujur badan.

Dengan sebuah payung yang telah kusarungkan, aku kembali berlari. Kulalui jalanan yang sempat kutinggalkan. Kulompati sedan-sedan yang malang melintang, menghindari genangan-genangan air, juga sesekali menampar wajah agar segera sadar.

Setelah tiba ke ruko-ruko itu, aku tancap gas menuju ke toko Nenek Penyot. Ia duduk santai di kursi kasir seperti biasa tanpa merasa bersalah telah menjebakku kemari. Lalu kutarik kerah bajunya. "KAU! BANGUNKAN AKU DARI MIMPI INI!"

Lantas sesuatu menarik kerah belakang begitu kuat sampai kedua tanganku goyah. Aku jatuh terbanting sampai remuk punggungku. Kulihat di atasku seorang perempuan sebaya yang dulu sempat menawarkan roti-roti. Sayup-sayup kudengar ia berkata, "Kau tidak ... tata krama, ya!"

Aku berusaha bangkit sambil mencekal kepala. Belum sepenuhnya sadar, kerah depanku ditarik sampai aku dipaksa mendongak menatap matanya yang nyalang. "Aku tidak pernah bertemu makhluk seberandal dirimu," tekannya. Lalu seperti karung sak aku didorong ke sebuah kursi.

"Anjing, sakit," lirihku sembari menekan belakang kepala.

Ia ancang-ancang hendak menonjokku. "Aku bukan anjing!"

"Aku sedang mengumpat!"

"Siapa peduli! Matamu menantangku!"

"Matamu!"

"Kau yang matamu, dasar matamu—!"

Tahu-tahu nenek bontot itu datang. "CUKUP! Kalian berdua punya mata!"

Nenek datang menempeleng pipi. Tanpa bisa kukendalikan, aku jatuh roboh ke lantai, mengejan pipi yang berdenyut-denyut. Kulirik perempuan itu berlutut memegang pipinya. Aku tidak bisa menahan senyuman, setidaknya ia juga kena getahnya.

Aku mengangkat kepala, menemukan nenek itu melotot lebar kepadaku. "Istirahatlah di sini—"

"Tidak!" tukasku tajam. "Kau ... tokomu yang tiba-tiba terselip di jajaran ruko padahal sebelumnya tidak ada sama sekali. Kau pula tiba-tiba menghilang seolah-olah tokomu tidak pernah ada. Gara-gara kau, aku jadi sering lupa jalan! Gara-gara kau pula aku berhalusinasi melihat paus terbang!"

Ia berlutut di depanku. Tubuh bongsornya yang dibalut daster putih gading itu berkamuflase menjadi bakpao. "Kau melihat paus itu lagi?"

Aku menahan kepalan tangan agar tidak lepas kendali. "Ya," tekanku. "Kau yang membuatnya, 'kan?"

Matanya yang melotot itu berubah menjadi lunak. Sudut bibirnya turun, bersamaan dengan alisnya yang layu. Dengan cepat ia mendekapku begitu erat, jari-jemarinya mengelus puncak kepalaku. "Istirahatlah, Nak, kau sedang lelah," bisiknya.

Namun kutolak pelukannya. Aku mendorong nenek itu menjauh. "Aku sudah beristirahat, tapi masih belum bangun!"

Ia hanya terdiam.

"Aku tidak butuh ini semua. Aku cuma ingin pulang!"

Nenek menatapku lekat-lekat. "Kau tidak akan pernah bisa pulang," katanya. "Sebab kau telah lama mati."

The Crying Whales
948 kata









Parah parah parah. Baru apdet hari ini. Yaa tapi setidaknya dapet info penting :"C



AyamLincah
Jumat, 22 April 2022

The Crying WhalesDär berättelser lever. Upptäck nu