24

859 181 3
                                    

Aku masih bertanya-tanya untuk apa mengetahui semua ini? Meskipun kutahu ini tidak berkenan di hati, aku tetap berjalan menuju ke arah yang sama sekali tak kuketahui seolah-olah memang ini jalanku.

Kututup kedua mata. Aku berusaha menulikan telinga. Proyeksi-proyeksi silih berganti kuabaikan. Aku tidak ingin melihat da mendengar apa pun.

Akan tetapi, sesuatu yang berkuasa di atasku tidak mau melihatku diam saja. Kelopak mata yang tertutup rapat ini seperti disorot cahaya senter tepat di depan muka. Celah-celah kelopak mataku membuka tanpa kehendakku.

Ketika aku mencoba memantapkan diri dengan adegan baru lagi, kudengar suara seorang wanita. Alunan suaranya halus menyapaku dalam ketenangan.

Ibu.

Itu suara Ibu.

Kulihat Ibu mengelus pucuk kepala diriku yang lain. Tangannya terselempang tas dengan kunci sepeda ada di tangan kanan. Ia mengecup kening si Aku sekilas, kemudian pergi ke luar.

Aku mencoba mengedip-ngedipkan mataku lagi, barangkali ini hanya halusinasi semata sebab biasanya aku ditunjukkan adegan terparah. Namun tidak. Latar tempat berubah total. Aku berada di tengah-tengah rumah. Bukan rumah yang kuhuni semasa SMA, melainkan rumah masa SMP.

Kuedarkan pandang ke segala arah—benar-benar ke segala arah. Aku melihat jam gantung yang berdetak, lemari jati, etalase rak buku yang hampir menyentuh langit, dan pernak-pernik cantik. Jendela-jendela mengelilingi dinding, membiarkan cahaya matahari menyinari seisi rumah.

Tidak kulihat ada rambut panjang yang menggantung di langit-langit, tidak nampak pula setan diam di pojok pintu, atau mendengar ketipak tangan-kaki makhluk melata. Tidak ada apa pun selain aku dan si Aku yang menonton TV di ruang tengah.

Anak itu bergemul di sofa malas, menyelubungi diri dengan selimut bagai kepompong. Tangannya menggenggam remot TV, jempolnya menekan bosan ke canel yang terus ia pindah. Aku berjalan mendekatinya, mengamati wajahnya yang bosan. Ia menguap namun tak kunjung tenggelam dalam tidur.

Seperti kesetrum, aku mengingat sedikit adegan ini. Bukankah ini kelas tujuh ketika libur semester? Aku sedikit menjambak poni agar kepalaku lebih aktif mengingat. Lalu muncul kesimpulan di kepala bahwa ini sepetinya memang kelas tujuh. Soalnya selama liburan panjang, yang kulakukan hanya duduk-duduk malas di depan TV.

Si Aku 7 terus mengganti chanel dan baru berhenti di chanel nomor 96. Aku tidak terlalu tahu itu acara apa, kalau kuterka seperti film dokumenter. Beberapa awak kapal dengan kamera dan benda—yang tidak kutahu itu apa—membelah lautan lepas dengan kapal bermanuver cepat. Di bagian dalam kapal, beberapa orang sibuk dengan komputer yang sepertinya mendeteksi radar. Mereka serius sekali melihat sesuatu.

Angle kameranya mengarah lagi ke luar, lantas muncul seekor paus yang meloncat keluar dari dalam air. Tidak hanya ada satu paus, beberapa paus dari yang besar sampai kecil timbul tenggelam dari dalam air. Mereka menari-nari di dekat kapal.

Si Aku 7 bertahan menonton pemutaran film dokumenter tersebut. Ia menyimaknya baik-baik, begitu pula dengan aku. Semakin ia menonton paus-paus itu, semakin terbuka lebar mata si Aku 7.

Aku menarik poniku sekali lagi untuk mengingat-ingat sebenarnya apa yang ia pikirkan? Itu tidak lebih dari acara film dokumenter biasa. Aku tidak bisa melihat ketertarikan yang sama dengan si Aku 7. Demi apa pun, menonton film rating 8 lebih menarik.

Selagi film terus berputar, aku mencoba melihat-lihat sekeliling dengan hati-hati. Aku harus waspada jika ada makhluk yang hinggap di sini. Sedikit aku berniat mengitari ruang tamu, namun langsung urung dan kembali ke ruang tengah saja. Lebih aman nangkring di sini daripada di ruang tamu sana.

The Crying WhalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang