15

1.2K 219 10
                                    

Masa SMP-ku tidak parah. Sependiamnya aku, tidak ada yang berani menyenggol. Kami anak-anak yang tahu tata krama, minimal tidak terang-terangan menggunjing kasar di depan muka si target (palingan menyindir kedok bercanda). Bagiku, takaran masa SMP itu cukup.

Walau terkadang aku kesulitan mendapat kelompok, itu bukan masalah tingkat tinggi yang tidak terpecahkan. Paling-paling guru meminta kelompok yang kurang anggota agar mau menampungku. Aku bertekad tidak mau jadi beban, maka tugas bagianku selalu selesai lebih awal.

Masa SMP tidak bisa dibilang indah, tapi aku masih hidup dalam ketenangan. Tidak ada orang yang mengibarkan bendera peperangan, jadi aku bisa duduk santai di kursi sambil menyantap masakan Ibu tanpa memperdulikan sekitar.

Seharusnya aku bisa bersekolah di sana selama genap enam semester, tetapi karena satu dan banyak hal, aku harus pindah—pindah jauh sekali di mana aku tidak akan bisa kembali ke kota tempat SMP-ku berada.

Aku dan Ibu singgah di sebuah kota yang tidak bisa dibilang kota. Udaranya sejuk, ada sungai jernih, gunung minimalis, sawah kecil-kecilan, dan ruko berbagai macam. Walau bukan sebuah kota yang dikenal banyak orang, itu adalah tempat yang cukup strategis untuk dijadikan tempat tinggal. Underrated; hidden gem! Apa pun itu sebutannya, aku sempat memasukkan kota ini ke dalam daftar tempat mengesankan.

Aku dan Ibu mengitari gang-gang, kami mencari ada apa saja di lingkungan baru ini. Aku melotot ke layar gawai, mengetahui wifi-wifi bertebaran dengan kekuatan sinyal tinggi. Ada jajaran ruko mulai dari rumah makan, toko kelontong, pecah-belah, sampai alat elektronik.

Sekolah saling berdempetan, mulai dari TK sampai SMA. Makanya Ibu mengambil alih motor, sedangkan aku berjalan kaki sebab sekolah SMA-ku tidak jauh.

Aku masih sedikit ingat tentang awal perkenalanku itu. Dalam keadaan gamang, aku mengenakan putih abu-abu. Pelan-pelan aku berjalan demi mengingat kelokan gang-gang ke. Kemudian aku sampai di sekolah, memasuki kelas yang sudah dikelompokkan.

Situasi tampak biasa-biasa saja, aku mendapat giliran maju ke depan. Satu baris bangku paling depan sudah mendapat giliran, mereka sama-sama grogi dan canggung memperkenalkan diri. Kemudian reka adegan itu dimulai lagi …

Aku yang bersandar santai ini mengintip si Aku Kelas 10 dengan takzim (sementara waktu kupanggil dirinya Aku Kelas 10). Ternyata sejelek itu diriku—maksudku kedua alis tertaut begitu erat, sudut bibir loyo ke bawah, dan kedua tangan tidak mau diam. “Aku dari kota yang em … sangat jauh.” Suaraku bergetar hebat. “Aku suka chicken nu-nugget. Selain itu, aku suka paus. Kalian tahu paus, ‘kan? I-ya semacam itu ...”

Aku menghela napas begitu panjang. Segera kusudahi acara mengintip itu. Ini jadi tidak masuk akal di kepala. Mereka, anak-anak kelas itu, bahkan tidak menyadari kehadiranku yang jelas-jelas mengintip ke dalam kelas. Benar-benar sialan, aku jadi tersesat seperti ini gara-gara langsung percaya pada Nenek itu.

“… kalian tahu tidak kalau ada paus yang tidak berkoloni,” lanjut si Aku yang masih berjuang memperkenalkan diri. “Anu, paus itu suka menjelajah sendirian sambil bernyanyi, namanya Paus 52 Hertz, aku suka paus itu.”

Tanpa ragu aku menjelajahi kelas. Kulayangkan tangan untuk menoel anak-anak di dekatku, namun semuanya tak terasa apa-apa. Mereka seperti hologram nyata. Kakiku tidak bisa menyepak, aku malah merinding karena kakiku bisa menembus dinding. Seperti melihat kecoak terbang, aku histeris.

Lalu kulihat bangku Amu yang letaknya paling pojok. Ia bahkan tidak peduli dengan orang-orang yang tampil di depan kelas. Anak ini terlalu sibuk dengan gawai yang ia sembunyikan dari balik buku. Saat aku hendak menjitak dahinya, ia menatap tepat kepada si Aku Kelas 10. “Anak kikuk,” komentarnya lirih.

The Crying WhalesWhere stories live. Discover now