43

1.5K 192 27
                                    

Ada satu alasan mengapa aku mempercayakan Enhi. Ia menjadi satu-satunya makhluk yang mampu membuka visi setiap manusia. Makhluk itu membawaku ke masa-masa melampaui riwayat hidupku. Dengan jentikan jari yang tangkas itu, Enhi instan menunjukkan sebuah adegan dari sudut pandang baru.

Aku tak pernah diberi kesempatan menjelajah seleluasa mungkin. Selama ini selalu ada tirai hitam yang membatasi pergerakanku. Aku dilarang pergi ke manapun kecuali tempat tersebut. Berlama-lama aku dipaksa menyaksikan satu demi satu adegan menyakitkan. Aku lupa bahwa aku pernah bahagia juga.

Enhi membawaku ke masa-masa di mana aku tertawa bersama Ibu. Ia sepenuhnya membalikkan pandangan burukku terhadap Ibu. "Bukan karena Ibu benci padamu," katanya. "Kau hanya sedang lupa saja."

Sama seperti anak normal lainnya, aku juga hobi bermain. Jadi selama ini kukira hobiku mendekam di kamar, ternyata Enhi menunjukkan diriku yang berlarian di taman mengejar kucing. Layaknya anak kecil pada umumnya, aku bisa tertawa keras.

Itu aku. Seorang bocah kecil energik yang digandeng  ibunya. Ia kabur dari genggaman tangan ibunya demi bisa menengok puluhan penguin dalam sangkar kaca. Di lain sisi, Enhi menunjukkan adegan di mana Ibu menghadiahkanku sebuah kue ulang tahun. Kami bernyanyi kecil dan tertawa bahagia.

Ibu pula yang menyisihkan sebagian uang ke dalam toples semata-mata untuk persiapan masuk SMP. Ia mengajakku mengelilingi toko demi toko, membelikan peralatan sekolah dan sepatu baru. Ibu pula rela libur bekerja seharian demi mengantre membeli kain bahan seragam baruku. Bahkan saat nominalnya melampaui gajinya sebulan, Ibu rela berhutang.

Kendati anaknya mendapat posisi sepuluh terbawah, Ibu tetap bangga. Ia tersenyum puas, matanya cemerlang ditimpa sinar matahari. Ia berjanji akan membelikanku es krim. Katanya aku bisa imbuh tiga kali. Padahal Ibu tidak pernah mengeluarkan uang sebanyak itu jika bukan kebutuhan makan.

Di masa SMA, aku dan Ibu liburan ke pantai terdekat. Kami menikmati sekotak bekal nasi goreng dan telur dadar. Minumannya juga bawa dari rumah. Sama seperti remaja lainnya, aku menggandeng tangan Ibu. Kami menyisiri bibir pantai dan bercerita banyak hal.

Menjelang masuk kuliah, Ibu berjanji pada dirinya sendiri tidak akan mengekang anaknya. Ia membiarkan keputusan diberikan padaku sepenuhnya. Selagi menunggu kelulusan, Ibu lebih mati-matian bekerja mencari uang. Ia semata-mata tak ingin berhutang.

Sejenak saja aku tak ingin kembali. Aku ingin mengingat lebih banyak kebahagiaan yang pernah kualami. Namun Enhi menggeleng. Kebahagiaan yang kulihat pada dasarnya tidak kekal. Maksud dari perkataannya, semua yang kulihat sekadar seberkas memori---bukan suatu hal yang bisa kuulang.

Enhi mengantarkanku kembali ke reruntuhan kota. Kami berada di lokasi bangkai mobil dengan posisi badan yang sama persis seperti sebelumnya, seolah-olah perjalanan panjang tadi berlalu satu detik saja.

Enhi mengulurkan tangan. Ia memintaku agar menerima jabat tangan. Saat tangan kami bersentuhan, muncul cahaya yang menguar terang. "Tidak apa, ini tidak akan melukaimu. Kita sedang menjalin kontrak saja," katanya. Kukira tangan kananku bakal bersinar, namun ternyata tak ada jejak apa pun.

"Berpamitanlah dengan Nebo untuk terakhir kalinya," pintanya. Enhi kemudian berubah wujud menjadi gumpalan asap hitam dan menyebar ke segala arah. Ia memudar begitu instan.

Selagi di perjalanan, aku mengamati tanganku yang tidak ada apa-apanya. Bila dibandingkan dengan tangan kiriku, rasanya sama-sama saja. Namun Nebo seketika histeris melihatku. Matanya membeliak lebar dibarengi pekikan kencang. Tukang Gebuk dan Pria Toko juga menatapku horor.

Nebo menarik kasar tangan kananku, mengamati lamat-lamat dengan sesuatu yang tak bisa kulihat. "Aku tidak merasakan kehadiranmu, ternyata ini yang kau lakukan!" Di atas segalanya, pekikan Nebo sangat menggelegar sampai seluruh pelayan tersentak.

The Crying WhalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang