41

872 169 46
                                    

Terakhir kali aku bertemu Amu adalah ketika aku mengusirnya dari hidupku. Tak kubiarkan Amu mendekat. Sedikit demi sedikit lelaki itu mengabaikan keberadaanku. Ia mencurahkan diri untuk kawan-kawan lain dan ujian masuk perkuliahan. Sekadar itu yang kutahu.

Dua hal yang sangat kuingat dari wajah Amu ialah bulu mata lentik dan lesung pipit. Jadi saat makhluk asap hitam ini berubah menjadi dirinya, aku langsung paham siapa orang yang ia tiru. “Apa maksudnya ini?”

Amu—maksudku pria itu mengusap dagunya. “Kukira kau akan senang melihatku berubah wujud menjadi dirinya.” Bahkan suaranya mirip dengan yang Amu terakhir kali kuingat.

“Bagaimana bisa kau tahu siapa Amu?” Aku menyipitkan mata. “Kau si Sasuke itu, ya.”

Ia menaikkan kedua alisnya. “Kukira kau bakal pikun lagi setelah masuk portalnya entitas penghubung.”

“Aku sudah masuk tiga kali. Diriku sudah khatam,” tuturku yakin (sekaligus jengkel karena sukarela mengungkapkan kebodohan sendiri).

Ia menyeringai. Sulit bagiku melihat sosok di depan ini sebagai pria pemilik taman hitam. Secara kasatmata ia mengubah dirinya menjadi sesosok laki-laki yang pernah menjadi ketua kelasku. Fitur wajah dan tinggi badannya menyamai Amu—terutama bulu mata lentiknya itu. Ia yang seolah-olah paham dengan isi kepalaku sengaja sering tersenyum sekadar memamerkan lesung pipit.

Aku memalingkan pandang. “Lebih baik kau berubah jadi Sasuke saja.”

“Bukankah kau suka dengan Amu?” tanyanya. “Aku meraba-raba hatimu. Hasilnya rasa naksirmu pada Amu jauh lebih besar daripada Sasuke.”

“Enggak, tuh! Aku mana suka orang caper macam dia—” sedetik kemudian Amu—maksudku sosok ini mendekat kepadaku. Wajah kami terpaut dua jengkal saja. Aku menahan napas sembari mundur.

“Kenapa menjauh? Begini-begini aku bagian dari dirimu, jadi wajar bila aku tahu isi hatimu.” Ia menyeringai kecil. “Dari raut wajahmu sepertinya Nebo masih belum menceritakan siapa diriku, ya?”

“Kau penjaga jiwa, bukan?”

Ia menyilangkan kedua lengannya. “Aku entitas batin, loh!"

Sosok yang mengaku dirinya sebagai entitas batin ini menuntunku melintasi hutan. Wujudnya sama persis seperti yang kutemui dalam mimpi (kecuali rupa). Aku mencoba melangkah hati-hati saat melintasi kaktus hitamnya. Sementara sosok di depanku tertawa renyah mengetahui diriku kesulitan mengekor di belakang.

Tangannya terulur. Ia sengaja memamerkan senyuman itu lagi. Aku mengernyit tajam, kuabaikan tawaran ‘baiknya’. Radarku dapat mendeteksi sosok ini sedang tebar pesona. Aku melangkah lebih dulu demi bisa menjauh darinya, namun ia dengan sigap menyejajariku.

“Sepertinya kau juga ingat ke mana aku membawamu,” tuturnya. Ia lagi-lagi memamerkan rupa sok tampannya. “Ngomong-omong kau bisa panggil aku Amu kalau ma—”

“Kau entitas batin yang bagaimana?” Aku memotong percakapannya.

Ia memanyunkan bibir. “Tidak sopan kalau kau bertanya tapi tidak menatap lawan bicara!" Sosok ini tahu-tahu menarik tanganku. Ia menggiringku agak jauhan dari taman berdurinya ke hamparan rumput hitam. Mau tak mau aku harus menurut duduk di sampingnya. “Nanti saja ke pohon beringinnya. Aku ingin berbincang denganmu. Gara-gara Penjaga Jiwa, kau jadi sangat sulit dihubungi.”

Sepasang alisku menyatu. “Kalian bermusuhan?”

Ia bilang antara Penjaga Jiwa dengan Entitas Batin seratus persen tidak bermusuhan. Hanya perbedaan watak saja. Terkadang mereka tidak akur, tapi di luar itu baik-baik saja. Sosok ini berkata kalau Penjaga Jiwa tidak mengizinkan dirinya berkenalan dengan jiwa-jiwa tersesat. Walhasil aku tidak tahu-menahu kalau ada sosok selain Penjaga Jiwa dan tukang ojek antardimensi.

The Crying WhalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang