21

829 182 8
                                    

Kata pria toko itu aku teler. Ia menemukanku di padang pasir. Awalnya setengah sadar, kemudian pingsan total. Pria toko membopongku ke tokonya, ia mengipas-ngipasiku agar tidak kepanasan. Dilihat dari sudut pandang manapun, justru aku semakin kedinginan. Saat aku bertanya padang pasir yang mana? Seperti tersengat listrik, ia pun sadar akan sesuatu, "Ah, maaf. Aku melihat padang pasir, tapi kau melihat hujan, bukan? Aku lupa."

Ia mengganti kipas dengan teh hangat. Karena penasaran, aku basa-basi bertanya, "Apa Bapak tidak kebasahan menggotong saya kemari?"

"Aku tidak melihatmu basah, Nona, kamu tergelepar lemas di padang pasir." Ia menaikkan kedua alisnya yang menawan itu. "Kamu butuh handuk, ya? Sebentar kuambilkan."

Tanpa sempat kucegah, pria toko mengalungkan handuk ke pundakku. "Jadi—" aku berpikir sebentar betapa janggalnya ini "—jadi kau kepanasan, Pak?"

"Awal mula datang kemari memang kepanasan, tapi lama kelamaan saya terbiasa."

"Aku masih belum mengerti kenapa kita melihat sesuatu sama sekali berbeda padahal ada di tempat dan waktu yang sama."

Ia menatapku ganjil, seperti sedang menerka-nerka, "Kamu ... sudah kembali ke masa lalu, bukan?"

Aku mengangguk ragu. Ia mulai menjelaskan kalau nasibnya serupa denganku. Ia berkelana ke masa lalu untuk mengingat-ingat siapa dirinya. Pria toko ini bilang kalau setiap orang memiliki penglihatannya masing-masing. Ia melihat padang pasir, sedangkan aku diberi penglihatan reruntuhan kota yang terus-menerus diguyur hujan.

"Kita memang berada di tempat yang sama, namun bisa jadi waktunya berbeda. Kalau Nona tidak mengerti, semisal contoh menurut Nona waktu berjalan cepat di sini, katakanlah kamu berada di sini selama lima jam. Tetapi bagiku—hitungan kasarnya—lima jam bisa jadi seminggu. Nona ... paham, 'kan?"

Aku menyeruput teh untuk menghilangkan ketololan. "Lanjutkan saja."

"Jadi ruang dan waktu di sini relatif, visi makhluk yang ada di sini. Walaupun begitu, kita tidak bisa mengendalikan yang ada sesuka hati. Nona mungkin pernah bukan merasa ruang gerak Nona terbatas atau waktu berubah seenaknya sendiri. Iya betul, seperti itu. Jadi relatif, tapi kita tidak bisa mengendalikannya. Aku heran sebenarnya, kenapa Nona sepertinya mengalami kesesatan padahal seharusnya ini menjadi panduan dasar—"

"Nah!" Aku bertepuk tangan sekali dan menudingnya seperti seorang yang brilian pemecah masalah nomor satu seantero galaksi. "Aku juga tidak mengerti, Pak. Semuaaanyaaa yang ada di sini membuatku gila. Padahal lucid dream itu gampang sekali sistemnya. Kau sadar kalau dirimu bermimpi, lalu minta dibangunkan orang lain. Selesai! Bagaimana kalau ibuku panik karena aku tidak segera bangun, bisa ruwet jadinya."

"Nona ..." Ia menatapku lemah. "... ini bahkan bukan dunia yang Nona kira. Ini dunia nol."

"Bicara apa kau, Pak?" Kuletakkan secangkir teh di lantai dan memberikan handuk kepada pria toko tampan beranonim ini. "Nebo bilang satu-satunya jalan pulang adalah dengan berinteraksi dengan paus. Aku sudah melihatnya ...." Kulirihkan suara agar tidak terdengar oleh siapa pun, mataku menatap intens. ".... Aku melihat ada lubang hitam tepat di depan paus itu. Aku yakin itu portal."

Ia menyipitkan kedua matanya. "Nona ... kau sepertinya sedang teler."

Aku menutup mulutku yang hendak keluar tawa lebar-lebar. Aku sebenarnya bingung kenapa harus tertawa. Tanpa mengindahkan omongannya, aku kembali menginjak jalan yang akan selamanya diguyur hujan.

Di sebuah reruntuhan kota hujan, aku tertawa menggelegar, mengalahkan suara manapun yang berderak di antara belantara kota tanpa penduduk. Pria itu tertahan di beranda tokonya, menatapku penuh waswas. "Tunggu di sana, Pak! Aku mau menemui Nebo sebentar."

The Crying WhalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang