34

710 148 16
                                    

Diko sering membanjiriku dengan pesan singkat. Bertubi-tubi ia bertanya bagaimana keadaanku. Sumpah aku enggan membalas pesannya. Tidak akan kuangkat telepon darinya. Diko menjadi sangat menyebalkan. Terkadang ia memaksa datang ke rumah untuk bertemu. Langsung kuminta Mama segera mengusirnya.

Mama bertanya apa aku sedang ada masalah dengan Diko. Kujawab kami baik-baik saja, ia hanya sedang bucin-bucinnya. Mama tertawa, ia tidak tahu ada masalah yang kelak tidak hanya berdampak padaku dan Diko, melainkan kedua keluarga. Ini tidak lebih dari fitnah yang pria itu utarakan. Tiba-tiba aku jadi sangat membenci pria itu.

Diko tidak menyerah begitu saja. Ia membelikanku banyak jajanan kemasan dalam satu tas plastik besar. Mama mengantarkan bingkisan ini ke kamarku. Saat kukeluarkan isinya, di antara jajan yang bertumpuk ada sebuah test pack. Lagi.

Aku ingin marah luar biasa. Ingin kupukul Diko  dengan tongkat kayu yang ada di gudang. Untung saja Mama tidak mengetahuinya. Jika ia tahu, pasti wanita yang kusayangi itu akan bertanya macam-macam.

Karena saking banyak pesan Diko yang belum kubaca, aku jadi dongkol sendiri. Saat kubuka, ia mengulang pertanyaan sama. Apa aku hamil, katanya?! Sejak kapan aku hamil, sedangkan berduaan di ruang sepi saja tidak pernah.

Dari mana kamu mikir kalau aku hamil?!

Moodmu

??!!!

Mual

Aku langsung beli test pack buat ngecek

Kamu ngandung. Kamu sendiri bilang+kasih  hasil ke aku

Tapi pas aku tanya buat mastiin, kamu malah lupa.

Melalui pesan singkatnya, ia mengingatkan secara detail tentang hari, jam, dan tempat kami melakukan itu. Aku jadi ingin mencekiknya. Saat aku akan memblokir kontak Diko, ia menahanku.

Katanya ia tidak akan mengirim pesan lagi, tapi tolong test pack sekali lagi. Jika hasilnya sungguhan dua garis, Diko akan bertanggung jawab. Ia akan segera mencari dokter.

Lantas tak ada pesan dari dirinya ....

Dadaku berdebar. Sekonyong-konyong keringat mengucur deras. Tanganku bergetar saat menyentuh test pack dari Diko. Pesan darinya tidak main-main. Ia seribu persen yakin kami telah melakukan itu, yang mana aku bahkan tidak mengingatnya sama sekali.

Aku bisa saja langsung ke kamar mandi untuk mengecek, tetapi ada perasaan aneh. Saking anehnya aku langsung menyembunyikan test pack laknat itu ketika Mama memanggilku. Mengapa jemariku bergetar hebat? Aku berani bersumpah selama pacaran dengan Diko, kami tidak berbuat macam-macam selain bolos kuliah.

"Esti, mi gorengnya nanti dingin, loh!" panggil Mama.

"Bentar, Ma. Esti mau pipis dulu." Aku tidak pernah menyentuh barang ini sebelumnya. Diko bodoh! Aku harus repot-repot cari cara menggunakan test pack di google. Spontan aku malu sendiri mengetik kata 'test pack'. Padahal selama ini yang kucari di google semata-mata kunci jawaban saja.

Seperti membawa narkoba, aku menyelundupkan benda ini di balik baju. Aku juga tidak segera melakukannya sesuai panduan dari medoa. Yang kulakukan bersandar di pintu kamar mandi dan menengadah.

Kuingat-ingat wajah serius Diko. Wajahnya yang selalu tampak manis dan jenaka itu membuat goresan tajam di antara alis. Sorot mata elangnya mengerucut. Ia siap mematuk bila aku 'berpura-pura' lupa ingatan—mana pernah aku lupa ingatan pada hal sebesar itu!

The Crying WhalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang