10

1.3K 249 25
                                    

Amu sungguhan menjauh. Setelah mendapatkan tropi, ia tak lagi peduli. Habis manis sepah dibuang---tapi dalam kasusku pepatahnya diganti menjadi: habis memaksa diabaikan jua. Meskipun pepatah pertama jauh lebih bagus daripada milikku, tetap saja keduanya sama-sama dibuang.

Aku ingat dulu ia tidak peduli-peduli amat denganku. Dulu kelas satu mana ada ia menyapaku? Seingatku tidak pernah. Ia selalu duduk paling pojok, dekat perkakas kebersihan. Tak pernah kutahu ia bakal jadi ketua kelas, sebab tak kulihat jiwa kepemimpinannya.

Sebagai anak yang tak memiliki skill tertentu, Amu bukanlah daftar orang paling diwanti-wanti. Ia baru dilirik satu kelas saat naik kelas tiga. Anak perempuan seangkatan (termasuk kelasnya sendiri) jadi tahu kalau ternyata ada laki-laki berlesung pipit jadi ketua kelas. Predikatnya sebagai anak manis langsung tersebar, citra Amu berubah menjadi anak halus yang hobi senyum.

Kemudian kompetisi kelas terbaik diluncurkan, Amu semakin gencar bergerak. Aku menjadi salah satu sasarannya. Tanpa diberitahu, kutahu ia pasti begitu. Agak mencurigakan kalau seseorang tiba-tiba berubah dengan sangat tidak natural. Selain gangguan yang sering digencarkan, udang-di-balik-batu juga jadi salah satu alasan kuat.

Udang yang telah lama berdiam akhirnya menunjukkan sungutnya juga. Ia keluar dengan sebuah tropi kebanggaan di tangan. Ialah Amu, orang yang tak kuizinkan memasuki teritoriku.

Amu sesungguhnya tidak mendapat piala fisik, tetapi ia---sudah pasti---meraup lebih banyak simpati dari guru dan pengaruhnya semakin luas. Siapa yang tidak kenal Amu dari sekolah A? Bukan ketua OSIS, tetapi populernya mengalahkan biduan desa.

Agak geli dan mengesalkan di waktu bersamaan. Pada hari di mana pengumuman disampaikan, aku memilih memojok di perpustakaan ditemani sebuah novel tebal sebagai sandaran gawai. Sebagai bagian dari kelas MIPA 4, aku adalah warga paling tidak taat. Persetan kemenangan, tidak ada artinya menyoraki kesenangan yang tidak akan pernah bisa kuincipi.

Berlalunya waktu, aku semakin mengisolasi diri di dalam ruangan ber-AC. Guru-guru menyarankan agar aku kembali ke kelas, mengingat tidak efektif bagiku bolak-balik. Di sisi lain perpisahan sudah ada di depan mata (maknanya aku harus membuat kenang-kenangan dengan orang sekelas). Terima kasih atas perhatiannya guru-guruku tersayang, aku memilih undur diri saja.

Sengaja tak kuhadiri les UN, tetapi diam-diam kupelajari semua materi lewat YouTube. Bagiku belajar di dua tempat yang berbeda rasanya sama saja: sama-sama tidak termotivasi.

Baik ada atau tanpa Amu, rasanya sama. Meskipun ia tak lagi datang, semua terasa hambar saja. Kadang aku bertanya-tanya untuk apa semua ini?

Hari-hari terus silih-berganti layaknya perpindahan matahari dan bulan yang tiada henti. Pagi datang, siang menyapa, sore berlalu, malam menemani. Jarum jam dinding terus berputar stagnan sampai pada satu momen ia berhenti tepat di angka empat sore.

“Baterainya habis,” kataku mengingatkan Ibu saat mataku jeli melihat jarum jam mandek di tempat. “Masih ada ‘kan stoknya?”

Ibu yang terlalu asik menyeduh teh telat menjawab, “Coba cek di nakas kamar.”

Itu adalah aktivitas normal. Minggu hujan yang dingin kami melakukan aktivitas masing-masing. Ibu menyeduh teh di dapur; aku mengisi formulir pendaftaran online di ruang tamu. Di sela-sela kegiatan, kulihat jam dinding mati. Aku berinisiatif mengganti baterainya dengan yang baru.

Seusai itu Ibu mencangking sepasang cangkir teh, meletakkannya tepat di samping berkas pendaftaran. “Kau mau daftar apa ini kok banyak berkas?”

“Kuliah.” Kusesap teh sejenak. “Aku mau coba daftar bidik misi. Kalau diterima, aku dapat tunjangan dan enggak perlu bayar uang kuliah.”

The Crying WhalesWhere stories live. Discover now