38

703 157 10
                                    

Kukira semua orang di dunia nol akan melihat apa duniaku lihat. Hingga Pria Toko, Tukang Gebuk, dan Nebo menjelaskan seterang-terangnya bahwa ruang dan waktu bergantung dari visi setiap individu. Terkadang aku bertanya-tanya kenapa visiku harus gedung tak berpenghuni dan hujan tanpa henti? Setiap kali aku tiba ke dunia nol ini, langit hitamlah yang memayungi. Matahari tak benar-benar tampak. Gedung-gedung suram tak ada bedanya dengan wisata tempat mistis. 

Sekarang baru kusadar bahwa dunia nol adalah cerminan dari diriku sendiri: suram, sendu, rapuh, dan hancur. Secerca cahaya matahari tidak pernah muncul sebab tak pernah kurasakan harapan di hidupku. Rapuhnya bangunan menyesuaikan dengan diriku yang mudah disentil. Hujan tidak pernah berhenti demi bisa menyamarkan air yang keluar di sepasang mata.

Beginilah diriku, tidak ada secercah sinar yang mampu membuatku bertahan hidup. Mungkin memang benar aku telah mati. Kendati aku tidak sudi, tapi takdir berkata lain. Yang perlu kulakukan adalah memastikan sekali lagi bila aku benar-benar mati. “Begitu, ya, portal itu tidak lebih dari merasakan hidup sekali lagi.”

“Aku bersyukur kau kembali dalam keadaan ingatan utuh,” kata Nebo. Binar kelegaan sekaligus duka merefleksikan raut wajahnya. “Kebanyakan jiwa yang memaksa masuk ke portal biasanya akan lupa tiga perempat ingatan dirinya.”

Kutarik senyuman kecil sebagai balasan. Aku bahkan ragu apakah setelah ini perlahan pundi-pundi ingatan akan digerogoti oleh efek masuk ke dalam portal. Jika itu benar, itu artinya aku akan memulainya dari awal.

Kami berdua duduk bersandingan di beranda toko sambil merayakan hujan sendu. Tidak ada satu pun dari pelayannya datang melabrak. Tukang Gebuk mengamati dari balik pintu, matanya menusuk tajam ke punggungku. 

Aku mamaksa menarik sudut bibir agar lebih lebar. Kulambaikan tangan untuknya sebagai isyarat kalau aku tidak akan macam-macam. Ia beserta para pelayannya sama sekali tak membalas senyumanku. 

“Sebagai penjaga jiwa, tanganku selalu terbuka menerimamu,” ujar Nebo. “Tapi semua keputusan bergantung padamu.”

“Tapi mereka memaksaku.” Kutunjuk mereka yang ada di belakangku.

“Sebenarnya mereka peduli. Akan sangat berbahaya bila jiwa tersesat sepertimu berkeliaran. Nanti kau akan semakin lupa. Ibaratnya kau anak kecil yang tersesat di kota tak dikenal, bisa-bisa diculik penjahat.”

“Sejauh ini aku baik-baik saja walau sering linglung—” Aku terkekeh kecil “—dan sesekali lupa ingatan.”

Nebo mengoreksi, “Berulang kali.”

“Ah iya, berulang kali lupa ingatan. Aku bahkan pernah lupa punya ibu ….” Hening lama setelahnya. Aku memandangi tetesan-tetesan hujan yang membuat kubangan air di jalanan. Mereka bergerak tidak seirama, namun membentuk pola riak sama. Hujan ini mengingatkan diriku yang dulu suka sekali bermain hujan. “Di portal itu aku ketemu Ibu. Sayangnya aku dibawa ke garis masa lalu, Nebo. Aku cuma ketemu Ibu yang masih muda.”

“Kau beruntung bisa bertemu ibumu walau garis waktunya tidak sejalan dengan dunia sekarang,” jawab Nebo. “Mayoritas yang nekat masuk ke dalam portal gagal menuju ruang dan waktu yang diinginkan. Terkadang ada yang dilempar ke tubuh anak kecil di kota terpencil. Ia tidak mendapat apa-apa sampai hewan spirit menjemputnya pulang ke dunia nol.”

“Hidupnya tidak permanen, ya?”

“Pada dasarnya kalian sudah mati. Mau masuk portal beribu kali dan mengulang kehidupan baru yang dinginkan sekalipun, kalian akan dipanggil kembali. Mayoritas jiwa tersesat kembali mengulang perjalanan masa lalu karena lupa ingatan 3/4 bagiannya. Singkatnya masuk portal adalah hal yang sia-sia.”

“Kalau aku telah mati, bagaimana dengan Ibu? Kau bilang penjaga jiwa adalah kumpulan serpihan-serpihan jiwa. Apa yang ia lakukan sekarang, Nebo?”

“Serpihan jiwa tersesat.” Ia meralat. “Dengan kata lain aku gabungan dari jiwa manusia yang telah wafat. Kemungkinan besar ibumu masih ada di dunia. Hanya itu yang bisa kuprediksi.”

The Crying WhalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang