33

744 162 29
                                    

Aroma kumpulan buku lama jauh lebih memabukkan dibandingkan buku baru.
Aku rela berlama-lama diapit rak-rak buku sambil menikmati tiupan angin AC yang hilir mudik menyapu wajah. Pernah aku bersemedi lama di antara rak berjajar. Orang-orang yang lewat sempat bertanya, kujawab sederhana kalau aku ingin bersantai saja.

Miya, kawan dekatku, bertanya di mana saja aku selama ini. Maka kuajak ia menjelajahi setiap koleksi buku yang ada perpustakaan universitas. Ia tidak minat katanya. Padahal skripsi nanti setiap mahasiswa harus membaca bejibun sumber bacaan. Mau tidak mau Miya pasti akan mengunjungi perpustakaan.

"Kan di google banyak," tukasnya.

"Yang namanya referensi google juga gak selengkap koleksi perpus," balasku mantap. "Enggak perlu baca buku, kok, kita nongkrong aja, deh."

"Kalau gitu, kita mana bisa ngerumpi?"

"Chill, sesekali kita saling diam aja."

Miya menumpang tidur. Untungnya kami mencari meja paling sudut. Miya juga menutupi wajahnya dengan tembok dari sampul buku yang ia ambil sembarangan. Aku hanya bisa mendengus. Kawanku satu ini memang semalas itu, tapi nilainya di mataku tetap tak berubah.

Aku bersyukur bertemu dengannya semasa ospek. Hari itu ia teledor tidak memakai dasi hitam. Dengan percaya diri ia memamerkan dasi abu-abu—padahal maba tidak diperkenankan mengenakan atribut masa sekolah. "Ah lebay!" sindir Miya. "Kating emang kayak gitu. Gini gak boleh, gitu gak boleh. Kasihan dulu semasa maba jadi kacung."

Mulutnya tidak memiliki filter. Awalnya aku tidak peduli ia mendapat masalah dari kating. Hingga akhirnya ia masuk ke kelompokku yang kekurangan anggota. Ia paling aktif memberikan ide menyanyi K-Pop untuk kating.

Aku menyeringai. Delapan orang di kelompok kami tidak ada yang mengerti lagu Korea kecuali Miya sendiri. Walhasil idenya ditolak. Tidak mau kalah, ia mengusulkan lagu dangdut saja. Barulah idenya kami terima.

Perlahan tapi pasti melalui peristiwa sesederhana itu Miya---entah bagaimana ---menjadi tukang ojek pulang pergi. Aku tak sampai hati menerima ojekannya, tapi Miya memaksa. Dari jasa antar jemput itu baru kutahu Miya memang sespesial itu.

"Aku bersyukur bisa kenal kamu, Miya," kataku setelah ia bangun dari tidurnya.

"Idih formal kali. Bilang aja minta ojek ke luar kota, Cantik," godanya.

Aku terkekeh geli. "Enggak, mah. Beneran tau!" Entah kenapa setengah dari dadaku sesak. Sebongkah batu seperti menggantung di dada. Perlahan menjalar ke atas, membuat isi kepalaku carut-marut. Aku tidak tahu kenapa merasa sangat bersyukur bertemu dengan Miya. Perasaanku jadi membuncah, tahu-tahu air mata menggenang di ujungnya.

"Kamu kenapa?"

"Aku gak papa." Tetapi suaraku bergetar, dan aku tidak tahu itu karena apa.

"Kamu kepikiran Diko?"

"Enggak, kok—" padahal ini murni perasaan senang bisa bertemu orang seperti Miya "—hubungan kami baik-baik aja."

"Pasti gara-gara aura negatif perpus. Dah kubilang, kan? Cabut, yok. Balik ke rumah aja." Dengan seribu satu alasan tak masuk akal, Miya berhasil menarikku keluar dari perpustakaan. Ia juga mengantarkanku ke rumah. "Mau liburan jangan ke perpus aja!" Lantas ia menancap gas motornya.

Mama menunggu di sofa. Ia sedang menjahit celana Papa yang bolong. Tingkahnya sedikit menggelikan. Ia mengenakan kacamata sambil memaju-mundurkan kepala ketika menambal kain. "Miya kok gak ikut masuk ke dalam?" tanyanya tanpa melihatku sama sekali.

"Miya mau persiapan rapat, Ma."

"Mau libur semester kok rapat aja," komentar Mama. Aku duduk di samping Mama. Tangannya bergerak hati-hati menjahit celana Papa yang terkena panasnya setrika. Mama mengaku terlalu fokus menggoreng ikan. Celana Papa berwarna hitam, tapi Mama menambalnya dengan benang pink cerah. "Oh iya tadi Diko kemari mau ketemu. Katanya kamu sama sekali enggak ada di fakultas."

The Crying WhalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang