29

809 174 19
                                    

Itu punggung seorang wanita. Rambutnya terurai sepunggung, melambai halus ditiup angin. Pakaiannya sederhana. Ia mengenakan kaus merah muda dengan bawahan celana jeans.

Di dekat kakinya ada seorang anak kecil. Kutebak ia masih SD kelas 4. Anak itu bergaun terusan kuning cerah dengan bando putih. Pipinya mekar seperti bakpao dan bergetar saat berbicara.

"Ibu suka, enggak?" Ia memamerkan sebuah halo. Halo itu berupa sekumpulan kembang glentang yang dianyam melingkar. "Aku belajar buat ini dari mimpi, lho!"

Wanita itu mengelus rambut si anak, ada percikan kaget di kedua matanya. "Kau?"

"Beneran, loh. Di mimpiku tadi malam ada aku sama Ibu main-main di tengah taman bunga. Di sana Ibu sabar nunggu aku yang masih bikin halo. Di sana Ibu cuaaaantik banget!"

Wanita itu tergelak kecil. Matanya menyipit menyamakan lekuk bulan sabit. Wajahnya berseri-seri. "Sebenarnya tadi malam Ibu juga mimpi kamu lagi di taman besar, lagi pegang bunga-bunga di sekitar. Hmm kayaknya ada anggrek, lilac, matahari, dan emm ... mawar merah muda. Ternyata mimpi kita sama, ya."

"Berwarna-warni, kan?! Ada banyak banget  dandelion yang terbang ke langit." Anak kecil itu menaruh halo ke puncak kepala ibunya. "Wah Ibu jadi cuaantik seperti di mimpi."

Wanita itu tersenyum malu-malu. "Mana halo punyamu, Sayang?"

Ia menggeleng. "Di mimpi, aku enggak pakai halo. Cuma Ibu yang pakai, jadi aku bikin khusus buat Ibu aja."

Dadaku berdebar aneh. Ada sesuatu yang menggelitik di dalamnya, di saat bersamaan aku merasa sesak setiap kali mengambil napas.

Itu Ibu semasa muda. Surai Ibu tergerai halus dan berkilauan. Sudut matanya memancing cahaya untuk menetap di sana. Kerutan lelah yang selama ini kulihat telah digantikan oleh rona pemerah pipi.

Bila berbicara, suaranya mengalun pelan. Suaranya tidak pernah berubah seperti saat terakhir kali kudengar. Gelak tawanya renyah didengar. Di depan mataku, Ibu tampak bahagia.

Aku sampai bertekuk lutut di hadapannya. Semua beban yang menggantung seketika melumer. Rongga dadaku dipenuhi bunga bermekaran dan desiran hangat. Mataku memburam, mengeluarkan air yang tak dapat kutahan.

Kapan terakhir kali aku melihatnya tertawa seperti ini? Bukankah sudah lama sekali? Aku bahkan hampir lupa bahwa ia bisa tertawa terbahak-bahak sambil bertepuk tangan. Yang kutahu Ibu bekerja dari pagi sampai menjelang sore, pulang dengan keadaan punggung lemas dan wajah kusam.

Aku merindukan tawanya; aku rindu melihat Ibu bahagia.

Jemariku tembus pandang ketika mencoba menyentuh. Ia tidak bisa melihat atau mendengarku. Sorot mata cemerlangnya hanya tertuju pada diriku di masa kecil. Ia mulai menyenandungkan nina bobo agar diriku kecil segera larut dalam tidur siangnya.

Akan tetapi, anak kecil itu malah ikut bersenandung. Ia memanjakan diri di dekat ibunya seperti anak kucing. Mereka berdua berpelukan. Sementara aku hanya bisa memandang mereka berdua.

Aku rindu masa ini ....

"Kemarin-kemarin kau tidak menyapaku."

Aku baru sadar ada satu sosok bersamaku. Sosok itu memojok di ruang tamu, ia berdiri memunggungi. Ia memakai setelan hitam-hitam. Mataku membeliak melihat hantu yang kutemui saat masa SMP. "Bagaimana bisa ada setan ini lagi?"

Niatku sebenarnya berkomentar lirih saja. Tetapi ia menelengkan kepalanya sebentar. Sontak itu membuatku merapat ke Ibu--walau kutahu ini sia-sia.

"Begitu, ya, kau mengulang." Ia membalikkan badan. Setelan hitam-hitam itu ternyata tuksedo yang kelihatan mahal. Wajahnya mengarah kepadaku, namun matanya menutup rapat. "Sepertinya perjalananmu agak disulitkan."

The Crying WhalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang