23

792 182 3
                                    

Sepertinya aku sudah tidak bisa memberi bocoran karena banyak adegan yang terlupakan. Aku hanya bisa meraba-raba tentang yang akan terjadi sekaligus bertanya-tanya untuk apa menunjukkan masa SMP padaku.

Sejauh yang bisa kuceritakan, Cici dan Bobi minim interaksi dengan si Aku 8. Mereka berdua ribut dengan urusan masing-masing Bobi sepertinya ketua kelas, anak itu sering mengatur-ngatur dan memberi pengumuman di depan kelas. Ia seperti bocah aktif yang tidak segan-segan menyalurkan seluruh tenaga pada organisasi.

Sementara itu, anak perempuan yang sering dipanggil Cici juga sering telat masuk kelas. Ia pergi membawa buku, pulang ke kelas memikul lebih banyak buku. Saat kutilik jenis buku apa yang ia baca, aku sontak muak karena itu kumpulan soal fisika dan matematika.

Ada beberapa momen di mana mereka berdua diam santai di kelas. Misalnya seperti berbagi bekal bersama. Bobi, Cici, dan dua orang lainnya berkumpul di satu meja yang sama. Mereka bertukar makanan dan tertawa renyah.

Jujur ini agak ... menyedihkan. Jika dibandingkan dengan si Aku 8, dirinya terlalu fokus dengan bekal makan sendiri. Sembari menyantap bekal, si Aku 8 disibukkan dengan buku kosong. Ia sedang serius-seriusnya menulis.

Aku sempat membaca tulisannya, tapi meh—bintang satu! Alurnya lompat-lompat. Sepertinya ia hanya ingin menulis adegan yang Aku 8 inginkan. Ia berfantasi menjadi tuan putri yang hidup menyenangkan di istana. Walau tidak secara terang-terangan menyebut dirinya sendiri sebagai putri di kerajaan khayalan, aku cukup mengerti hanya dengan melihat cengiran dan gerak-gerik lincah tulisannya.

Jika sudah bosan, pasti bakal berganti menggambar apa pun. Mulai dari kereta yang menggunakan kadal sebagai pengganti kuda (maka jadilah kereta kadal) sampai pangeran bermahkota bersayap capung.

Aku hanya bisa merinding geli. Kalau ini memang hasil karyaku, ada baiknya disimpan di brankas saja. Begitu aku berhasil pulang ke rumah nanti, aku janji akan mencari buku itu dan mengamankannya.

Adegan lambat laun berubah. Aku sungguh tidak ada bayangan akan terjadi apa lagi setelah ini. Yang kulihat kelas lagi-lagi membuat kelompok. Si Aku 8 tidak mendapat kelompok, lagi.

Ia toleh kanan-kiri hendak mencari tumpangan. Namun dalam waktu sekejap, kelompok sudah terbentuk. Dan kalau kulihat baik-baik, mereka yang berkelompok tidak ada bedanya dengan kelompok kemarin.

Si Aku 8 melirik ke kelompok yang ada Bobi dan Cici. Tanpa kusangka, si Aku 8 inisiatif datang ke sana. Ia berjalan hati-hati seperti takut terkena ranjau. "Permisi, aku ...." Bobi dan sontak menoleh. "Aku boleh masuk kelompok kalian?"

Bobi menarik satu kursi kosong. "Ayo sini," katanya menyambut ramah.

Cici mengangguk mengiyakan. "Kalau enggak dapat kelompok, datang saja kemari."

Dan faktanya si Aku 8 sangat payah dalam mencari kelompok. Hampir setiap waktu, hanya mereka berdualah yang mau menampung dirinya. Bahkan bila Bobi dan Cici tidak dalam satu kelompok yang sama, mereka tetap mau sukarela si Aku 8.

Aku menarik ujung poni demi mengeluarkan semua ingatan, namun hasilnya nol besar. Setelah adegan-adegan yang ditunjukkan, aku tidak ingat apa pun tentang masa SMP-ku. Seharusnya sepikun-pikunnya aku, masih ada beberapa hal yang kuingat. Tetapi sungguh keterlaluan pikunku. Aku baru tahu ada orang yang mau menampungku.

Tanpa bisa kuucapkan terima kasih kepada mereka berdua, aku hanya bisa menatap dua anak ini sambil tersenyum takzim. Aku tidak bisa menyamarkan senyum yang terpampang nyata. Kedua anak ini sama sekali tidak menyinggung apa pun tentang keburukan si Aku 8.

Setelah waktu bergulir panjang, si Aku 8 tidak terlalu banyak berubah. Kukira dengan dirinya yang sering berkelompok dengan orang-orang bakal membuat anak ini lebih berani berbicara. Akan tetapi, si Aku 8 diam saja.

The Crying WhalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang