3

3.2K 429 30
                                    

Baru kutahu ada penghuni kamar. Berjumlah satu, sepertinya.

Ia tampak menyerupai perempuan, kurasa setinggi aku. Entah markasnya ada di mana, pokoknya setelah kejadian itu aku lebih memilih rebahan di ruang tamu, meskipun ruang tamu tidak terjamin aman jika dibandingkan dengan kamarku sendiri. Bisa jadi ada penghuni lainnya lebih banyak.

Aku bukan indigo. Bukan ranahku berhubungan dengan hal-hal mistis. Seharusnya aku bisa tidur nyenyak seperti biasa. Tetapi semenjak itu mataku melirik celah lemari, risau dengan apa yang ada di bawah kasur, dan takut sesuatu berdiri tepat di belakang. Kepalaku jadi tersugesti melihat sesuatu yang sesungguhnya tak ada. Kulit tiba-tiba terasa dingin, padahal itu angin yang numpang lewat saja.

Tiga hari menjelang aku kembali ke sekolahan, hampir seisi kamar terpaksa kupindahkan ke ruang tamu. Tas kusulap jadi tempat penyimpanan baju, laptop dan charger siaga di atas meja. Guling jadi tongkat pemukul, bantal berojolan di lantai.

Ibu bertanya kenapa aku menguasai wilayah ruang tamu. Maka kujawab kalau ada ruang tengah di rumah ini, pasti kujadikan markas selanjutnya. Berhubung rumah kami tidak ada ruang tengah, jadi aku pindah kemari.

Sesungguhnya pertanyaan Ibu belum kujawab, tetapi toh ia sibuk memanaskan motor. "Ayam gorengnya ada di atas meja! Jangan lupa ditaruh di kulkas biar enggak dirubung semut!" Ibu menggas motor, ia menghilang di balik kelokan gang. Jam tujuh pagi Ibu pergi. Ia akan pulang menjelang jam empat sore.

Jam sepuluh kakiku baru mau turun dari sofa. Kuputar musik jedag-jedug ketika berada di dapur untuk mengambil nasi. Aku menyanyi sekeras mungkin, terkadang tertawa sangat keras sampai ruangan bergema.

Ayam goreng yang mau kumakan sudah dikerubungi semut-semut kecil. Aku harus mengetuk piring agar mereka mau keluar dari sana. Detik demi detik berlalu, ketukan piring makin lantang terdengar—mengimbangi lagu dan suara yang kukeluarkan.

Masih ada sedikit semut yang belum bermigrasi dari piring, namun buru-buru kumasukkan semua lauk ke dalam kulkas. Bodo amat! Semoga semut-semut itu mati dalam kedamaian.

Aku tidak bisa melihat, kok. Jadi tenang saja. Seharusnya aku bisa begitu, tetapi kepala ini mengatakan ada yang mengikutiku. Bayangan perempuan sebaya kembali terlukis. Wajahnya ketutupan rambut panjang. Ia berwujud samar-samar, seperti kabut yang bakal hilang dalam sekali kibasan. Ia normal, punya dua kaki dan tangan—wujudnya normal, kok, tidak ada darah atau koreng yang mengering. Kalau diselundupkan di antara sekumpulan remaja, ia tidak akan bisa dibedakan.

Aku melompat ke sofa, melapisi diri dengan selimut. Lagi-lagi aku begini kalau ditinggal Ibu!

Cerita ini bukan bergenre horor, tidak ada setan-setanan di sini. Aku sendiri takut dengan sesuatu yang berbau horor, tidak pernah rekomendasi filmku berbau jumpscare.

Aku lapar, belum sarapan pula. Tidak lucu kalau aku takut di rumahku sendiri.

Pelan-pelan kuturunkan selimut. Tidak ada sesuatu yang bergerak, di belakang sofa pun tidak ada yang bersembunyi. Satu-satunya yang bergerak adalah putaran jarum jam.

"Kalau begini aku jadi tidak suka diskors."

Singkat kisah piring sengaja kutaruh di bawah meja, tulang ayam kubuang sembarangan di depan taman. Setelah itu aku merem sebentar, bangun-bangun sudah jam dua siang. Karena tanggung, jadi kulanjutkan tidurnya.

Bangun-bangun Ibu sudah ada di depan wajahku. Katanya aku baru bangun jam delapanan. Di tangan Ibu ada segelas air yang isinya hanya setengah. Saat hendak kuminum, Ibu menyergahku, katanya air itu untuk menciprati aku yang mati suri.

Seperti disentil, otakku mengingat apa yang terjadi dalam tidur. Kurang lebih beginilah jika disusun:

Jantung berdegub keras, napasku memburu, peluh menetes di sekujur tubuh. Kupikir aku sedang dikejar hantu perempuan di alam mimpi, namun ternyata aku memang sedang berlari saja. Kakiku gesit melewati bongkahan batu dan jalanan yang berkerompeng.

The Crying WhalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang