Aku ingat saat itu diriku sedang bermain di halaman depan. Sesekali kucabut rumput liar. Saking asiknya, tahu-tahu rumput taman gundul seperempatnya. Ibu datang, ia menjewerku pelan. Katanya cukup cabut rumput liarnya, tapi malah kucabut rumput apa pun. Satu alasan paling masuk akal: semua rumput terlihat sama-sama hijau.
Sekali lagi Ibu mengajari mana yang perlu dicabut, mana yang dibiarkan saja. Ketika aku agak mengerti dengan perbedaan kedua rumput ini, Ibu kembali menyambung membersihkan ruang tamu yang tertunda. Ruang tamu itu bahkan tidak pernah disinggahi oleh siapa pun, tetapi Ibu rajin membersihkan seolah-olah selalu siap akan kedatangan tamu.
Rumahku semasa SMP tampak estetik dan bercahaya. Walau tidak sebesar rumah di samping kanan dan kiri, untuk dua orang sudah sangat cukup. Banyak ventilasi dan jendelanya lebar-lebar. Pengap tidak pernah hinggap di rumahku. Koleksi buku Ibu menjadi sekat antara ruang tamu dengan ruang tengah. Singkat cerita itu adalah rumah yang hangat. Namun karena satu insiden fatal, aku terpaksa pergi jauh dan menghuni rumah—yang ternyata—banyak setannya.
Aku merasa sangat bersalah karena telah menolong wanita itu—maksudku hei! Orang-orang melihatku melakukan percobaan pembunuhan, tetapi sebenarnya aku berusaha menolongnya.
Akan tetapi perkataan jahat itu berulang ditujukan padaku dan Ibu. Mulanya kubiarkan, lama-kelamaan masuk di telinga dan mengendap di kepala. Endapannya tidak mampu kukeluarkan, jadi kupendam sangat dalam.
Tapi satu adegan yang ditampakkan di depan mata sudah cukup membuat semua endapan meletus dan mengotori seluruh kepala.
Kuingat sangat pada mulanya wanita itu mengamatiku. Rambutnya terurai sepunggung dan bergelombang. Ia diam saja melihat aku yang sedang mencabut rumput. Bahkan ketika aku mulai ketakutan ditatap terus-menerus, mulutnya enggan menyapa. Katakan padaku, jika kau diamati orang yang tak dikenal, bukankah itu sangat mengganggu? Apalagi untuk ukuran aku yang masih kecil, tinggi orang dewasa bisa terlihat sangat menjulang dan mengintimidasi.
Aku sangat sangat sangat ingat segera lari tunggang langgang ke dalam rumah, menarik rok Ibu, lalu menunjuk wanita itu. Aku bersembunyi di balik gorden ruang tamu, mengamati Ibu yang sedang mengobrol dengan wanita itu.
Dan adegan itu kembali diulang tepat di depan mata. Saat aku mencoba lebih dekat, kulihat ekspresi wanita itu tampak berlebihan. Ia membelalakkan mata besarnya, menatap Ibu dari ujung kaki sampai kepala berulang kali. Tanpa aba-aba, ia memeluk Ibu begitu erat.
Ibu berusaha menyembunyikan ketidaknyamanannya, tetapi gagal. Ia buru-buru melepas pelukan. "Anda siapa, ya?" tanyanya gusar.
Matanya berbinar-binar menatap Ibu. "Sudah lama sekali aku mencari, tapi malah begini."
"Apa Anda mau masuk ke dalam sebentar—"
Wanita itu memeluk Ibu sekali lagi, tanpa pembicaraan apa pun.
Aku langsung balik badan. Lebih baik bersembunyi di dekat si Aku 7 daripada melihat wanita itu. Jujur sangat memuakkan melihatnya. Aku tidak mengenalnya, begitu pula dengan Ibu. Gara-gara wanita itu, kami berdua harus pindah kota dan aku kena getahnya. Gara-gara wanita itu pula Camel semakin gencar merundung!
Namun tak bisa kusanggah kala jemari ini bergetar. Aku harus meremasnya kuat-kuat agar getaran di jemari tidak menjadi-jadi. Sepuluh jemari kugunakan untuk menutup muka. Seandainya jemari ini bisa masuk ke kepala, aku ingin ia mengais endapan memori kotor ini dan membuangnya dari kepala.
Kematian wanita itu tidak sepenuhnya terlupakan. Dapat kuraba jemarinya, dapat kudengar teriakannya ... dapat kulihat matanya membeliak. Tanpa bisa kutahan, kematian wanita itu terulang bagai kaset rusak. Aku sampai memukul kepala kuat-kuat agar ingatannya menghilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Crying Whales
Fantasy[Pemenang Wattys 2023 Kategori Twist Terbesar] Setelah bertemu dengan Nenek Bontot, aku melihat penampakan paus terbang di langit. Kupikir itu hanya halusinasi atau sisa-sisa fantasi masa kecil yang baru terwujud saat stres mendera. Kupikir begitu...