40

801 169 32
                                    

Selepas sadar aku tak langsung bangkit. Kututup mata erat-erat, sehingga tidak ada air yang keluar dari sudut mata. Biarpun hujan menggempur badan dan membuat wajah kebas, aku ingin tenggelam dalam genangan air. Kalau bisa, biarkan aku tak sadarkan diri untuk selamanya. Namun kata-kata Nebo terpatri dalam kepala, aku akan bergentayangan jika belum tahu siapa diriku.

Semua orang yang menasihatiku benar. Aku sepenuhnya mati, tugasku tinggal mencari ingatan yang terlupakan. Namun bila aku melintasi masa lalu dan bertemu Ibu lagi, lebih baik aku mendekam di toko roti Nebo selamanya. Bukankah lebih baik aku lupa ingatan seutuhnya saja?

Gerakan demi gerakan; kedipan mata yang mengulang; dan langkah kaki yang membawaku ke toko Nebo selalu mengingatkanku pada siluet Ibu. Ia membelakangiku, rambutnya dibiarkan terurai. Benar juga, selama ini kepalaku sudah sadar kenapa bayangan Ibu selalu memunggungiku … sebab sejak pertama kali dilahirkan, ia sudah tidak sudi melihatku. Selama ini akulah yang mencintainya sendiri. Aku yang menatap punggungnya sendiri, namun tanganku tak mampu menggapai.

Betapa menyedihkannya … selama ini aku membuat diriku gila pada seseorang yang tak pernah menganggapku ada. Tak terhitung rasa bersalahku pada orang-orang yang selama ini berusaha membantu.

Kubungkukkan badan kepada Pria Toko dan semua orang yang ada di toko roti, terutama kepada Nebo dan Tukang Gebuk. “Maaf atas perilakuku selama ini. Aku sudah terlalu gila sampai mencelakakan kalian semua.”

“Sebenarnya kau telat, tapi tetap kumaafkan,” cetus Tukang Gebuk. “Hmm aneh sekali tingkahmu. Jangan-jangan kau pikun lagi.”

Aku menggeleng lemah. “Aku masih ingat.”

Nebo merangkulku. Ia membawaku ke sisi meja. Tukang Gebuk memberiku secangkir teh. “Minumlah.”

Lagi-lagi aku menggeleng. “Nebo, bolehkah kau sekali lagi menjelaskan padaku siapa dirimu?” Kutundukkan kepalaku dalam-dalam, memohon dengan sangat. “Tolong, Nek ….”

Nebo mengelus puncak kepalaku. “Aku selalu memaafkan dirimu jauh sebelum kau meminta maaf, Nak. Itu karena aku penjaga jiwa. Aku kumpulan dari serpihan-serpihan kecil, salah satu serpihan itu ada dirimu.”

Nenek adalah perwujudan entitas penjaga jiwa yang bisa tinggal di dua dunia secara bersamaan, yaitu dunia orang hidup dan dunia nol. Ia baru terlihat saat manusia seperti diriku telah mati. Selama ini ia hadir sebagai penjaga jiwa-jiwa tersesat seperti diriku yang payah ini.

“Aku menyediakan toko bukan sekadar berjualan. Pada dasarnya kami tidak menjual apa pun—tidak ada transaksi jual-beli di dunia nol. Orang hidup juga tidak akan tahu keberadaan kami. Tokoku difungsikan sebagai tempat beristirahat dan berlindung dari kepikunan yang selama ini kau alami.”

“Kenapa kau tidak terus terang sejak pertama kali bertemu, Nebo?”

Nebo sekilas memandang Tukang Gebuk. Gadis itu mengangguk seakan terjadi percakapan batin di antara mereka berdua. “’Pertama kali bertemu, katamu? Kau sudah tiga kali masuk portal hitam itu. Tiga kali pula kau memaksa ingin hidup.”

Alisku terangkat tinggi. “Bukankah baru pertama kali? Aku hidup sebagai Estiana sebelumnya.”

Ia menggeleng mantap. “Pada dasarnya masuk ke dalam portal hitam itu seperti menanti undian. Kalau kau beruntung, kau bisa mengulang kehidupan aslimu. Namun bila gagal, kau hidup di tubuh orang lain.” Nebo tersenyum lemah. “Kau sudah mati lama sekali, tetapi jiwamu tersesat terlalu lama sampai ingatan, keinginan, dan halusinasi bercampur menjadi satu.”

“Bagaimana bisa ….”

“Bisa. Pada percobaan pertama kau hidup di tubuh pemuda bernama Ilyasa, seorang anak SMA dari desa pelosok. Lantas kau kembali dalam keadaan lupa seutuhnya. Kau mengembara lagi mencari ingatan tentang hidupmu. Setelah terkumpul separuhnya, kau melihat portal paus itu lagi. Kau paksa kami agar membawamu masuk ke sana.

The Crying WhalesWhere stories live. Discover now