8

1.6K 267 29
                                    

Tas kresek hitam kutenteng. Isinya setelan seragam, jaket Amu, dan sepatu yang dibungkus terpisah. Bu Asmi meminjamkan stok seragam yang disimpan di TU, bila kukenakan wangi kapur barusnya menyengat sampai ke ubun-ubun. Aku harus menutup hidung dengan punggung tangan agar wanginya tidak memabukkan kepala.

"Santai aja, aku punya banyak jaket, kok," ujar Amu. Ia tampak tak keberatan dengan sengatan wangi kapur barus. "Nanti pulangmu sendiri bagaimana? Kamu yakin mau nyeker?"

"Udah biasa. Hush sana!"

"Gimana aku bisa pulang kalau masih hujan deras begini." Amu menopang dagu murung.

Kami duduk di depan aula selama lebih dari sepuluh menit. Hujan tak kunjung mereda. Amu beranjak mencari bantuan ke ruang guru. Sekembalinya dari sana ia membawa dua payung. Amu memberiku satu. "Daripada bengong, mending kamu ingat-ingat rumus logaritma," katanya berusaha bercanda. "Besok jangan lupa dikembalikan, ya, taruh saja di mejanya Pak Tatok." Amu membuka lebar-lebar payungnya. Ia melambaikan tangan padaku sebelum membelah hujan.

Sementara itu aku masih ingin berjongkok lebih lama lagi. Untuk satu dan dua hal, aku ingin Amu jauh-jauh dari jarak pandangku. Dipikir-pikir setelah menjadi ketua kelas, Amu jadi semakin agresif dengan anak sekelas. Aku terkena imbasnya, anak itu selalu berada di wilayah teritoriku untuk sekadar membagikan info remeh-temeh. Padahal nomor WA sudah kubagi, tapi sepertinya bukan itu yang Amu inginkan. Terkadang perbuatan manusia bisa disebut anomali kalau ia secara tiba-tiba melakukan sesuatu yang berada di luar jalurnya. Amu adalah salah satunya.

Payung terbentang. Tanpa ragu kulewati hujan. Dengan  begini aku bisa pulang tanpa khawatir demam. Mengingat perlakuan Ibu yang kurang sesuai ekspektasi membuatku ingin jadi orang sehat saja. Ketika aku sakit, Ibu tidak akan mengecek suhu badanku seperti ibu-ibu pada umumnya. Kurasa itu karena sakitku tergolong mudah pengobatannya pun Ibu sibuk bekerja.

Mungkin begitu ....

Aku nyeker melalui trotoar yang sama: alang-alang malang melintang menghias pinggir jalan, bebungaan liar bermandi hujan, dan rerumputan teki terlihat gendut karena saking banyaknya mengonsumsi hujan. Kerikil-kerikil kecil berputar mengikuti arus air sebelum jatuh ke dalam lubang selokan.

Tepat setelah melangkahi lubang tempat selokan itu, aku melintasi kawasan ruko-ruko besar---tempat di mana semua kebutuhan berpusat di sana. Di tempat itulah ada toko roti nyentrik yang baru buka.

Kakiku terpaku. Kejadian minggu lalu membuatku urung melintas lebih jauh. Kalau aku tetap lewat, kiranya Nenek itu bakal memanggilku atau diabaikan, ya? Kutelisik jalanan sesudah kawasan ruko. Tak butuh beberapa gang lagi aku bakal tiba di rumah. Dibandingkan memutari taman, kawasan ruko adalah jalan terdekat.

Gagang payung kugenggam kuat-kuat. Aku bakal mengabaikan panggilan pelayan nenek itu!

Tidak seperti tadi, kakiku melangkah terburu-buru seperti dikejar waktu. Wajah kusembunyikan di balik tudung payung, tetapi sudut mata ini tak berhenti melirik. Setibanya di depan toko nenek itu, aku berlari lebih cepat. Saat aku membalikkan badan untuk mengintip sejenak, mataku tak bisa tidak membeliak.

Aku berjalan mundur sekadar mengecek.

Tidak ada.

Toko norak itu tidak ada di sana. Yang kulihat adalah wujud toko tembikar. Etalase besarnya memamerkan berbagai macam piring dan gelas keramik. Seorang wanita muda duduk-duduk di dekat pintu. Ia bertanya keperluanku, namun segera aku melangkah cepat melalui jalanan yang baru saja kutempuh.

Namun aku spontan kabur ke jalan yang tadi kulewati. Sudah jelas tujuan utamaku pulang ke rumah, tetapi untuk satu dan banyak hal---yang bahkan tak kupahami---keinginan aneh ini menuntun kakiku menuju ke taman kota. Melewati gang-gang besar dan jalanan lengang, aku tiba di taman yang baru saja dibangun pemerintah desa.

The Crying WhalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang