13

1K 245 11
                                    

Aku tidak tahu ternyata nenek itu punya sisi humor. Mulutku tidak bisa menahan tawa sampai terbatuk-batuk dibuatnya. Karena saking lucunya, mendadak aku ingin membuang semua riak batuk di depannya—

"Jangan bercanda!" Kucengkeram kedua lengannya. "Aku tidak mau mendengar basa-basimu, Nenek Sialan!"

Perempuan tukang banting itu mendorongku jauh-jauh. "Oi jangan bicaramu!"

Para pelayan yang sedari tadi diam saja mengerubungiku, mereka menghalang-halangi pandanganku dari nenek bangka itu. Dua dari mereka mencekal lenganku, lalu menyeret paksa seperti samsak tinju.

Kusentak kedua kaki. "Minggir! Aku bisa jalan sendiri." Kupelototi semua orang, terutama orang tua itu. "Kau, nenek tua bangka! Aku tidak tahu di mana salahku, tapi gara-gara ulahmu aku tidak bisa segera bangun. Apa maumu?!"

Para pelayan berhasil membawaku semakin dekat dengan pintu. Saat aku hendak dilempar ke luar, Nenek itu berkata untuk terakhir kalinya, "Datanglah kemari saat kau sudah baikan."

Lantas aku ditendang seperti botol minuman. Pintu kaca itu dikunci rapat-rapat, kait gordennya dilepas agar aku tidak bisa melihat apa-apa yang ada di dalamnya.

Dalam keadaan dada yang berkobar, aku didinginkan oleh guyuran hujan. Kemejaku samakin basah, bulukan, dan tidak keruan pula bagaimana rupaku sekarang.

Aku terkantung-kantung berjalan melintasi berbagai ruko-ruko, lalu pada akhirnya kembali ke toko pertama yang di mana seorang pelayan pria memberiku payung secara cuma-cuma.

"Kau akhirnya kembali  setelah sekian lama, Nona," komentar pria itu. Ia menepuk kursi panjang di sampingnya. "Sebentar, aku bawakan teh hangat."

Kali ini aku tidak menolak pemberiannya. Sesaat setelah menyeruput teh (rasanya seperti teh sungguhan), aku baru membalas, "Aku bahkan baru pergi beberapa jam yang lalu, Pak."

"Kau sudah pergi lebih dari seminggu kurasa." Ia mengelus dagunya sebentar sambil menerawang di kejauhan. "Yap. Seminggu."

Omong kosong apa lagi ini. "Aku hanya berkeliling melihat isi mimpi, tanpa melihat jam aku yakin tidak sampai berhari-hari," kataku sedatar mungkin.

"Seyakin apa matamu melihat semua ini mimpi?" tuturnya. Ia ikut menyeruput seteguk teh hangat. "Di matamu hujan turun deras sekali, tapi di mataku ini adalah padang pasir tanpa ujung."

Sontak alisku menyatu. "Bicara apa kau, Pak? Kenapa orang-orang di mimpi bicara tidak jelas."

"Kau tersesat, ya? Aku bisa minta tolong ke atasanku agar kau tinggal di sini untuk sementara."

Alisku makin tertaut. Keningku pasti jadi lebih kusut setelah banyak mengerut. Aku sedang tidak mencari pekerjaan paruh waktu! Aku mau pulang. Demi bisa menahan amarah yang baru saja mereda, aku mengalihkannya ke topik lain. "Katamu semua di sini murah-murah?"

"Gratis, Nona," ralatnya.

"Ah ya gitu, gratis, 'kan, ya? Aku mau cari barang penting."

"Selain makanan, kami juga menjual barang-barang dapur."

"Nah bagus! Aku mau cari pisau."

Ia mengernyit kecil. "Untuk memasak?"

"Untuk bertahan hidup lebih tepatnya."

Aku berbohong. Itu untuk mengancam nenek bontot agar mau mengaku. Skenarionya sederhana. Saat hujan sudah benar-benar reda dan emosiku turun, aku bakal mendobrak pintu tersebut lalu menodongnya dengan pisau. Yap, ini mimpi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tidak perlu takut aku akan dibawa ke meja hijau. Selain karena aku masih di bawah umur (17 tahun masih kebal hukum, 'kan?), ini mimpi. Mimpi tidak akan pernah bisa mendakwamu!

The Crying WhalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang