11

1.2K 242 11
                                    

Ke mana aku harus pergi jika jalan yang kutapaki tak lagi bisa dikenali? Mau ke mana aku berlari sedangkan kegelapan mengekori? Di mana aku berlindung sementara gedung-gedung menguncup layu.

Meskipun begitu—meskipun kutahu malam terus merayap—tetap saja aku berlari mencari perlindungan. Tidak mungkin aku duduk terkulai di atas peraspalan pecah-pecah, bukan? Hujan terus bergulir menggepur tanah, juga menampar punggung agar aku mau merangkak.

Jangan kau tanya bagaimana rasanya. Mengunjungi kota baru saja asing di hati, apalagi dikerubungi kegelapan dan gedung-gedung yang merontok. Aku menggigil, tubuh meringkih, mata memburam, aku hampir terjungkal.

Jauh-jauh berlari, sandalku akhirnya menyerah juga. Pengaitnya putus, ia menghantarkanku pada sebuah lubang aspal besar yang digenangi air. Terjungkallah aku, lutut diparut kerikil, sikut menyusul kemudian. Wajah seketika terbasuh air butek, bajuku dikucek paksa.

Napas kutarik paksa demi memasok lebih banyak udara. Karena saking banyaknya, aku jadi terbatuk-batuk. Kupaksakan tubuh 'tuk berdiri lagi. Entah bagaimana, pokoknya aku harus pulang ke rumah!

Ibuku ... Ibu pasti mencariku. Ibu saat ini pasti sedang melapor ke polisi, atau mengelilingi gang-gang, atau memanggil namaku, atau menangis, atau merindukanku, atau—

--atau tidak sama sekali ....

Kuusap lengan yang diparut kerikil "Aku tidak tahu kalau ternyata mimpi bisa bikin goresan semenyakitkan ini ..."

"... juga semenyakitkan ini." Kuraup dada yang kembang kempis. Aku tidak bisa menahan lebih banyak luapan sesak lebih banyak lagi

Tidak seperti sebelum-sebelumnya, aku berakhir berjalan kuyu. Kedua sandal kutenteng, kubiarkan kaki nyeker. Biarlah sudah ujung rambut sampai ujung kaki basah, toh tidak ada tempat perlindungan yang layak—

Ah ... ini mimpi, 'kan, ya?

Iya ... ini mimpi, 'kan?! Nanti aku pasti akan dibangunkan Ibu.

Pertama-tama yang perlu kulakukan hanya berkeliling saja—berkeliling sepuasnya! Kenapa aku harus takut? Ini mimpi! Senyata-nyatanya mimpi, aku pasti akan kembali.

Kusisiri jalanan, melewati pepohonan rindang tumbuh subur di balik ketiak reruntuhan, menapaki rerumputan hijau yang terendam genangan, kemudian mendaki beton-beton malang-melintang.

Pada tanjakan kesekian, bertemulah aku dengan sebuah peradaban kecil di kejauhan. Ruko-ruko berjajar di sisi kanan-kiri jalan. Seperti tak terusik oleh apa pun, jajaran ruko-ruko itu berdiri anggun. Siluet bangunannya tenggelam di kegelapan hujan, lampu-lampu berkedip remang-remang.

Layaknya oasis di padang pasir, aku kembali menemukan harapan. Aku berhati-hati menuruni jalanan, lalu tertatih-tatih menyibak tirai hujan. Di ruko paling ujunglah aku meminta pertolongan pada si pemilik toko makanan. Ia adalah pria muda yang sedang berjaga di dekat pintu.

"Tolong izinkan saya berteduh, Pak!" Tanpa menunggu persetujuannya aku merebahkan pantat di teras tokonya. "Ternyata mimpi semelelahkan ini."

Tergopoh-gopoh ia berlutut di dekatku. "Eh kamu bisa beristirahat di dalam, Nona," bujuknya.

Aku menggeleng. "Jangan, aku basah. Nanti tokomu ikutan basah. Aku cuma mau berteduh sebentar sebelum dibangunkan Ibu."

Mulutnya yang hendak terbuka kembali terkatup. Ia masuk ke dalam toko, lalu kembali dengan secangkir teh dan sekotak camilan. "Makanlah ..."

Aku tidak bisa menahan ketawaku. "Di mimpi tidak ada uang 'kan ya? Sayang sekali aku enggak bawa uang, pun enggak lapar. Jadi enggak usah—"

"Tidak ada alat penukar barang, Nona. Semuanya gratis." Ia menyerahkan teh dan camilan itu di dekatku. "Makanlah."

"Nanti Ibu yang akan memasakkan aku makanan. Terima kasih, Pak." Kudorong semua pemberian pria itu. "Lebih baik Bapak ceritakan padaku bagaimana caranya bangun dari mimpi."

Namun ia hanya menatap. Alisnya mengerut, secara bersamaan kedua matanya melayu. Ia memandangku seakan-akan aku adalah orang yang tinggal di bawah kolong jembatan. Tatapan itu sama seperti cara Bu Asmi memandangku: tatapan mengasihani.

"Bangun dari mimpi, ya ...." Mata pria menatap kejauhan yang tertimbun gempuran hujan. Ia membiarkan kalimatnya menggantung di udara.

The Crying Whales

Pria itu berkata begini padaku, "Aku tidak tahu visi apa yang kau lihat, tapi dengan keadaan baju selembab itu, kurasa dari sudut pandangmu hari ini hujan turun deras." Ia memberiku sebuah payung. "Kau bisa datang kemari kalau kelelahan."

Meskipun agak aneh dan hobi bengong, ia tidak berbuat buruk padaku. Demi menghormatinya, kuterima payung pemberian. Aku membungkuk dan berterima kasih, lalu kembali menyibak hujan tanpa harus basah-basahan lagi.

Sisi kanan-kiri jalan mengingatkanku dengan rute yang biasa kulewati saat pulang sekolah. Betapa banyaknya toko-toko berjejer dengan jendela besar dan dagangan yang dijual di etalase kaca.

Di antara semua toko, kutemukan sebuah papan nyentrik yang menyala terang seperti lampu disko bertuliskan: BUKA 24 JAM! Dari semuanya, toko kue inilah yang paling besar dan heboh mulai dari papan menu sampai hiasannya.

Tanpa ragu aku mendorong pintu kacanya. Aku langsung melompat ke meja kasir, lantas menarik kerah baju milik pemilik toko sialan ini. "Akhirnya kau muncul lagi, nenek tua! Tidak cukup di realita, kau sekarang masuk ke mimpiku—!"

Kerahku terangkat, aku ditarik mundur menjauh dari nenek ini. Para pelayannya berniat mengerubungi. Tampang mereka seragam: sama-sama berniat memberiku hajaran yang tertunda.

"Sudah sudah, aku tidak mempermasalahkannya—" Nenek tua membenahi kerahnya yang lusut. "—Selamat datang kembali, Nak."

Ia tersenyum menyambut kedatanganku. Senyumnya merekah, memamerkan gigi emasnya yang berkilau ditimpa cahaya. "Senyummu jelek," ungkapku.

Pelayan perempuan—yang dulu sempat menarik paksa kerahku—melotot. Matanya melebar, seakan bola mata itulah yang akan mencaplokku. Pelayan-pelayan lainnya menyusul memelotot—oh mereka menantangku.

"Minggir! Tidak ada gunanya aku kemari —" kusibak kasar pundak mereka "—lagipun aku bakal bangun tidur, melupakan kalian semua, dan tidak akan pernah kembali!"

"Mau ke mana kau, Nak?"

Aku menoleh cepat. "Pergi jauh-jauh dari kalian! Lalu bersiap-siap bangun tidur." Sepasang manik mata nenek tua bangka itu terangkat ke atas. Mulutnya hendak bicaranya, namun segera terkatup. Ia menatapku lesu. Ah ... mata itu lagi, caranya menatapku serupa dengan cara Bu Asmi iba padaku. "Jangan tatap aku begitu! Tidak di dunia nyata, bahkan tatapan seperti ini kutemui di mimpi!"

"Begitu, ya," lirihnya. "Kau sangat ingin pulang, ya."

Kubuka payung lebar-lebar. Aku menyibak hujan yang kini turun semakin deras. Tak lagi kupandang toko norak itu. Kulalui puluhan ruko-ruko yang berjajar, langkah kakiku pergi mengikuti alur peraspalan.

Di antara gelapnya awan yang menggantung, sayup-sayup kudengar rintihan paus di atas langit. Saat kudongakkan kepala, siluetnya mengintip dari balik mega mendung. Lalu dalam sekali kipasan sirip, paus besar itu bermanuver menembus hujan. Ia terbang rendah melewati bangkai-bangkai gedung yang terbengkalai.

Paus itu terbang menjauh

Jauh ke arah yang tak kuketahui di mana ia akan berlabuh

Memangnya paus pernah berlabuh—?

Ah ya, selain Ibu yang membangunkanku, bagaimana caranya bangun dari mimpi, ya?

The Crying Whales
1016 kata






Fun fact, kalimat penutup chapter kali ini terinspirasi ama obrolan temanku. Jadi kami sempet ngobrol seputar mimpi. Dua temenku lumayan sering ngalami lucid dream. Salah satu dari mereka bilang ga terlalu suka ngalami mimpi lucid. Pasalnya kalau sudah sadar dirinya sedang ngimpi, dia bakal kebingungan buat cari cara bangun tidur. Dia selalu ngandelin orang lain, yaitu emaknya sendiri.

AyamLincah
Minggu, 3 April 2022

The Crying WhalesWhere stories live. Discover now