42

852 170 16
                                    

Tidak seperti paus yang hanya bisa membawaku ke masa lalu, Enhi mampu melampaui itu. Enhi menjanjikanku melintasi masa sekarang. Ia bisa begitu karena dirinya sebuah entitas yang ada pada setiap manusia hidup atau mati. Enhi bahkan bisa membawaku ke masa seorang artis jika mau.

Aku menolak tawarannya. Sesungguhnya tak sanggup mata dan telingaku mengetahui apa pun lagi. Kebanyakan visi yang kulihat sangat menyakitkan.

Enhi bilang akan sulit bagi jiwa tersesat keluar dari dunia nol jika bukan dirinya sendiri yang melihat peristiwa hidup. Aku menggeleng kuat. Aku mau-mau saja menjelajahi masa lalu, namun tidak dengan masa Ibu. “Untuk apa melihat masa lalu dari orang yang enggak pernah peduli aku?!”

Sepasang mata hitam Enhi terpaku padaku. Sorot matanya seakan tahu dengan apa yang kurasakan. Perlahan ia menarik garis lengkung ke atas. “Itulah kelemahan entitas penghubung. Ia hanya bisa membawamu ke masa lalu acak tanpa mengerti apa kau ingin melihatnya atau tidak. Kau sedang apes saja dibawa ke masa tidak menyenangkan. Padahal kau juga punya masa menyenangkan, namun paus tidak membawamu ke sana.”

"Masa lalumu tidak seburuk itu." Entitas ini menyilakan aku melihat masa lalu Ibu.

Wanita itu masihlah dengan sosok yang tak berubah. Tatanan rambut tetaplah sama, bahkan cara berpakaian sederhananya. Ekspresinya yang berubah banyak. Tatapan marah Ibu mengingatkanku dengan caranya memukulku. Ada ketidakpuasan dan kebencian di sana. Bedanya itu ditujukan pada seorang pria di depannya.

Aku tahu betul pria itu kakak dari ibuku. Tak pernah kujumpai Paman kecuali dari riwayat hidupnya di internet. Ia berpotongan rambut biasa seperti pasfoto masa SMA. Model pakaiannya tak ada bedanya dengan pegawai kantoran. Menurut mataku, ia bukan orang neko-neko.

Ibu menyindir kakaknya. “Aku enggak pernah minta apa pun, Mas. Toh selama ini aku juga enggak nuntut apa-apa dari Ayah-Ibu. Kamu sudah dapat apa yang dipenginin, tapi kok tega masih mau ambil uang kuliahku?”

“Dahayu, bukan aku yang ambil. Ayah-Ibu yang ambil. Itu pun kemauan mereka,” kata Paman.

“Terus gimana caraku bayar uang semester habis ini?”

Paman mengusap wajahnya sendiri. “Kamu mau dinikahkan, bukan? Ayah-Ibu enggak menoleransi pacaranmu yang kebablasan itu.” Paman menunjuk perut Ibu yang rata.

Ibu menekan perutnya. “Tapi aku sudah mau skripsian. Buat apa selama ini aku kuliah—?”

“Buat apa selama ini kamu pacaran sampai kebablasan, Dahayu?!” bentak Paman.

"Selama ini aku enggak pernah dianggap, Mas!"

"Kalau enggak dianggap, kamu udah dibuang dari kemarin-kemarin! Sekarang Ayah-Ibu mau tanggung jawab."

"Apa bedanya? Tetap aja aku dibuang ke orang lain."

“Kamu udah sadar Ayah-Ibu lebih menomorsatukan aku, terus kenapa kamu cari gara-gara?”

Ibu bungkam.

Ia tak berbicara apa pun untuk membalas walau ada seribu satu alasan untuk menjawab pertanyaan Paman. Enhi mengatakan, dalam hati Ibu ada suara yang sangat ingin ia ucapkan, namun selama ini berakhir sia-sia: Ibu kesepian.

Ayah dan ibunya bekerja pagi pulang malam. Ayahnya sebagai kaki kanan sebuah bank swasta, sementara ibunya kaki kiri di salah satu instansi pemerintahan. Kakak laki-lakinya—yang selama ini hanya bisa kulihat di album kenangan—adalah anak gemilang. Semua piala yang berjajar adalah prestasi Paman.

Kami dibawa ke berbagai masa di mana ibuku berada. Ia adalah seorang wanita atraktif dan menyenangkan. Ia sangat berbeda 180 derajat denganku yang tertutup. Ia suka bertanya di kelas kuliahnya. Banyak teman menyukainya.

The Crying WhalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang