5

2.3K 353 68
                                    

Obrolanku dengan Amu baru kuceritakan sebagian, masih ada beberapa yang sengaja kulompati. Kurang lebih begini sisanya:

Ganci pemberian ibuku rusak. Rantai yang mengait pada ring besarnya lepas, mungkin akibat korosi. Karatnya menjalar sampai ke kepala paus. Walhasil noda cokelatnya mengotori bagian atas replika paus. Sewaktu aku kehujanan, karatnya meluber sampai ke perut paus. Ganci imut itu dalam sekejap menjadi benda bulukan yang menggantung di resleting tasku.

Sisa uang jajan kukumpulkan untuk membeli ganci baru. Aku cukup membeli satu sebab duitku tidak banyak-banyak amat. Kutitipkan paketnya di pos satpam sekolah. Begitu barangnya tiba, langsung ku-unboxing di ruang BK.

Ganci yang baru kubeli ini rupanya sama persis dengan pemberian Ibu: paus biru yang kasar permukaan perutnya, punggungnya sedikit melengkung ke atas, sirip birunya seakan sedang bergoyang. Garis bibir paus biru diukir lebar, seperti sedang tersenyum kepadaku, senyumannya.

Entah bagaimana melihat ganci ini membuat dadaku sedikit berdegub, bahkan mungkin mekar layaknya kembang mawar. Sudut bibirku tertarik ke atas, kusapa balik senyuman ganci baru itu.

Begitu ganci baru disandingkan dengan ganci lama, semakin berbinar mataku melihat betapa kembarnya kedua ganci ini. Yang besar pemberian Ibu, sedangkan satunya lagi masih baru. Kami adalah sepasang ibu-anak paus.

Sehabis memasukkan ganci lama ke dalam tas, anak itu—yang mengaku namanya Amu—membuka sekat pintu tanpa permisi. Ia mengambil ganci baru dengan keadaan kuku telunjuk sedang kotor seakan-akan ia habis menguras selokan kelas, mengingat sekarang sedang musim hujan dan selokan jadi rawan banjir.

Aku mengambil ganciku dan tidak sungkan-sungkan mengelap bekas sentuhan Amu dengan tisu basah. Ia jengkel, kuyakin dari setiap inchi pergerakannya menunjukkan kejengkelan—terutama alis matanya yang tebal itu menukik sedikit ke bawah. Tetapi aku tidak cukup peduli dengan dirinya yang tidak nyaman.

Di atas segalanya, bukan kehendakku menjadikan Amu sebagai penghubung kelas. Sebagai ketua kelas, aku tidak merasakan kehangatan dari sikapnya. Pemaksa, mungkin itu yang paling mencolok dari diri Amu. Walaupun sebenarnya ia cukup dikenal dan menyenangkan di mata siswa-siswi lainnya, Amu tak cukup membuatku membuka diri.

"Sorry kemarin aku lupa bawa catatan jadwal les." Ia menyerahkan lipatan catatan yang tersimpan di balik saku seragam. "Nanti fisika, jangan lupa datang lagi ke kelas, ya?"

Kuiyakan tanpa melihat lawan bicara. Catatan Amu langsung kuselipkan di antara ketiak buku tanpa berniat membacanya sebentar.

"Sorry juga udah asal main pegang gancimu." Suaranya melembut. "Tapi tanganku bersih, kok, aku habis cuci tangan pakai Mama Lemon. Terus kena cipratan air tinta spidol cokelat, jadi ya agak kotor dikit."

Karena tak kugubris, ia beranjak dari sofa. Sebelum membuka pintu ia berkata, "Sorry juga tadi aku intip kamu sebentar sebelum masuk kemari. Aku kaget ternyata kamu bisa senyum juga karena ganci."

Aku sontak menatapnya. Ia terkekeh kecil, kedua lesung pipitnya langsung menampakkan diri. Lelaki itu lalu meninggalkan ruangan begitu saja.

Sekarang aku jadi mengerti kenapa banyak perempuan naksir dengan Amu.

The Crying Whales

Sering aku berpikir ingin lari ke dunia mimpi. Kalau bisa tidak usah balik sekalian. Aku siap jadi sleeping beauty sampai akhir hayat. Mau dikubur hidup-hidup pun tidak masalah, asalkan mimpi bahagiaku tidak buyar karena diguyur tanah basah. Bahkan bila aku menjadi bagian mimpi dari orang-orang acak, lalu langsung menghilang seiring ia bangun dari tidurnya pun tidak apa-apa. Aku tidak keberatan.

The Crying WhalesWhere stories live. Discover now