4

2.7K 376 41
                                    

Wali kelas menahanku. Katanya kelas MIPA 4 bukan lagi hunian layak. Aku digiring melalui koridor utama, melewati ruang guru. Ruangan baru itu bernama ruang BK--tempat di mana mimpi buruk anak-anak berandal berasal. Dan aku akan menetap di sana untuk sisa bulan, kiranya sampai hari kelulusan tiba.

"Kamu harus datang ke kelas saat mata pelajaran mau dimulai. Pas isoma langsung balik kemari, ya?"

Tidak kujawab obrolannya. Dengan siapa aku berbicara pun tak kutatap rupanya. Yang pasti ia polisi sekolah; si hakim yang merangkap sebagai guru dakwah alias guru BK.

Bokongku mendarat di sofa, AC menyala kencang, pewangi lavender yang bertengger di mulut AC bergoyang kencang. Demi apa pun, ini kelas impian. Aku bisa rebahan kalau mau atau streaming film (mengingat aku tahu kata sandi Wi-Fi sekolah), tapi tak kulakukan. Kepalang bodoh kalau tiba-tiba aku kepergok menonton Disney di kandang macan.

Tetapi hampir setengah hari tidak cukup banyak yang berlalu-lalang. Guru BK--yang jumlahnya memang pas-pasan--tidak terlalu menggubris. Mereka sibuk dengan berkas-berkas pelaku berandal; aku juga pusing akan rumus dasar logaritma yang tak kunjung menempel di otak. Kami terpisah oleh sekat kaca buram. Mereka tidak bisa melihat aku, pun sebaliknya--meski tak bisa kubohongi kuping ini mendengar cibiran halus yang kadang-kadang datang selentingan.

Orang-orang kelas juga tidak banyak mengganggu. Tidak ada waktu untuk repot-repot melabrakku. Sebagai siswi yang menyandang gelar sebagai anak bermasalah, tidak ada yang cukup berani menantangku. Aku pun tidak memancing genderang permusuhan.

Ketika jam pelajaran hendak dimulai, aku langsung duduk di bangku soloku seperti biasa (aku duduk sendirian, letaknya tepat di tengah-tengah). Sudut mataku menangkap bangku Camel yang ada di pojok depan sudah kosong melompong. Cuping hidung ini berkedut kegirangan mengetahui anak itu sudah diekspor ke luar kota.

Sisanya kudengar guru MTK menjelaskan trigonometri yang dicampur logaritma. Pelajarannya 90 menit hampir tanpa jeda. Guru itu berhenti hanya untuk minum saja. Mengingat ujian yang akan datang, tidak ada seorang pun mau bikin ulah denganku kalau-kalau hidungnya tidak mau patah (atau bisa saja yang lain tidak peduli padaku).

Begitu bel istirahat berbunyi, aku segera cabut ke kediaman baru. Di sana kuhabiskan bekal buatan Ibu yang dingin terkena tiupan angin AC. Setelah ayam goreng, terbitlah ayam suwir yang menjadi lauk utama bekal makan ini.

Setelah seminggu liburan, aku sangat senang bisa hidup dalam kedamaian--lebih-lebih Camel sudah hilang tak berbekas bagai kentut yang diterpa topan.

"Katanya Pak Muslim kamu mau dipindah ke ruang kurikulum, ternyata dipindah kemari."

Kebahagiaan kecilku meluntur secepat membalikkan telapak tangan.

"Kelas buat persiapan UN mau dimulai hari ini, loh, sehabis sekolah. Kamu langsung datang aja ke kelas, jadi jangan pulang dulu, ya!" Ia membawa buku yang menyerupai buku catatan utang, lengkap dengan pulpennya. "Bu Asmi bilang anak-anak kelas boleh mengajukan keringanan pembayaran. Semua anak di kelas udah kutanyakan, tinggal kamu aja. Jadi, gimana? Mau minta keringanan atau enggak dulu?"

Suwir ayam yang kukunyah jadi terasa dingin dan hambar.

"Kamu kalau mau minta keringanan nanti kukasih tahu persyaratannya apa saja. Sekarang udah enggak seribet tahun lalu, loh! Jadi gimana?"

Kututup bekalku yang menyisakan banyak sekali nasi dan suwir ayam. Bersama kotak buatan Ibu ini, aku kabur ke balkon.

Seharusnya orang-orang tahu kalau aturan diam-saja-saat-diajak-bicara itu maknanya ia tidak ingin diganggu. Tapi anak itu mengekoriku! Aku masih punya kesabaran sebenarnya, tapi sabarku cepat boros seperti gajian Ibu.

The Crying WhalesWhere stories live. Discover now