6

2.1K 320 44
                                    

Bukannya aku sudah melupakan hantu kamar dan rintihan tangis tidak jelas, aku hanya tidak mau membahasnya.

Kadang-kadang aku kembali menumpang bermalam di sofa. Sengaja kuping kusumpal earphone sambil menyetel video hujan 10 jam meskipun saat itu di luar rumah hujan sedang deras-derasnya. Rasa-rasanya dari hujan asli itulah aku mendengar suara rintihan.

Kalau didengarkan baik-baik, itu seperti bukan suara rintihan bayi—jangankan bayi, manusia saja bukan. Aku tidak tahu pasti itu apa, tetapi kalau boleh kuduga suaranya seperti decit engsel pintu. Volume suaranya diperkecil, begitu samar di antara riuhnya air hujan.

Mulanya aku berprasangka kalau ini ulah si hantu kamar, tetapi—sekali lagi—kalau didengarkan baik-baik suara itu berada di luar rumah, seperti berada jauh dari tempatku berada.

Tidak sering kudengar suaranya. Karena saking samarnya, aku jadi sibuk fokus pada hal lain. Baru saat mau tidur aku butuh sumpalan di kuping untuk mencegah suara-suara itu terdengar lagi (mengingat sebelum tidur aku tidak melakukan apa pun selain rebahan).

Selain dengan bantuan earphone, aku berusaha memikirkan betapa sulitnya belajar lucid dream. Bila disarankan agar tetap sadar pada fase REM, itu susah dilakukan. Pasti aku bakal hilang kesadaran. Itu sudah pasti!

Mungkin sudah waktunya aku menyerah. Pikirku ini bakal sia-sia. Pada akhirnya aku bakal hidup biasa-biasa saja. Maksudku ... mau berusaha bagaimanapun ujung-ujungnya bakal menjalani kehidupan lagi. Aku pasti balik ke sekolah, belajar di sana sampai dapat ijazah, lalu kuliah. Sehabis kuliah? Ya cari kerja.

"Tapi sebelum cari pekerjaan yang layak, kita harus fokus belajar dulu, bukan?" sahut Amu menanggapi keenggananku dalam melanjutkan kuliah. Amu memberiku cacatan lagi, kali ini jadwalnya berbeda. "Sekelas inisiatif mengadakan kegiatan bahas tes perguruan tinggi. Enggak kayak les UN dari sekolah, di sini kamu bebas makan sambil belajar."

"Ternyata kamu memang enggak peka. Jelas-jelas aku gak bakal datang." Kusodok catatan jadwal itu ke Amu. "Lagian habis les UN mau langsung lanjut belajar sampai jam tujuh. Sorry, aku bukan anak ambis."

"Terlepas kamu mau atau enggak, yang penting aku udah menawarkan, ya." Amu balik mendorong catatan itu ke aku lagi. "Lagipula sekolah cuma ada fasilitas les UN. Padahal tes perguruan tinggi juga butuh, loh, mana soalnya sulit-sulit."

Kuselipkan catatan jadwal ke lipatan buku tanpa berniat membaca isinya. "Ya, sana pergi." Aku mengepak barang-barang ke dalam tas, lantas pergi meninggalkan ruang BK.

"Mau ke mana?" Amu menghadang jalan. "Arah kelas bukan ke sana, loh."

"Mau pulang."

"Kan habis sekolah ada les UN, ingat?"

"Enggak."

"Nanti kita diabsen satu persatu ..." Amu menarik tasku yang secara tak langsung ia sedang menyeretku paksa. "Ayo siap-siap. Kita jangan sampai terlambat."

The Crying Whales

Ternyata Bu Asmi yang mengajar. Ah ... wali kelas. Cara mengajarnya biasa-biasa saja. Hatiku tidak tersentuh dengan ambisinya yang ingin membuat siswa mencintai matematika. Sebagai guru kuakui ia punya idealisme tinggi. Selebihnya meh—sudah kuduga aku tidak akan terkesan dengan apa pun yang ada di sekolah.

Sebagai anak yang sering mendapat sorotan, kadang-kadang mata kami secara tidak sengaja saling beradu. Mataku kebetulan tidak sengaja menatapnya, sedangkan pandangan Bu Asmi seperti ingin memastikan aku berada di bangku. Sesekali ia menyisir rupa-rupa muridnya, lalu secara tidak sengaja menatap aku. Kutahu skenarionya begitu.

The Crying WhalesWo Geschichten leben. Entdecke jetzt