20

905 194 8
                                    

Ini bukan suatu hal yang penting diceritakan, tapi sekitar semingguan diskors, aku pindah tempat ke ruang tamu. Jadi setiap hari aku dipaksa melihat trio setan: setan kendi yang diam-diam menatap di dekat pintu masuk, setan melata yang hobi menyapaku, setan rambut panjang yang diam di tempat. Demi apa pun, ini sangat menyebalkan.

Jauh lebih menyebalkan metode yang dipakai si Aku 12 agar ia tidak ketakutan. Saat makanan ditaruh di meja dapur (yang mana dapur lebih gelap daripada ruang tamu), ia justru menarik lebih banyak makhluk dengan menyetel lagu keras-keras. Belum lagi menyanyi dan tertawa heboh.

Seperti seekor anjing, aku mengekori tuan rumah. Aku tidak mungkin diam saja di sofa sementara 'tiga penghuni' ada di dekatku. Tanpa memperdulikan dapur yang sunyi, Aku 12 memantapkan diri mengambil ayam goreng. Sementara itu dengkulku bergetar hebat, ternyata di dapur juga ada dua makhluk putih mojok.

Jadi selama ini rumahku sangat ramai, terlalu ramai malahan!

Selepas menaruh lauk-lauk ke dalam kulkas, Aku 12 kabur. Ia berteriak kencang, hampir meninggalkan aku di dapur. Sontak aku ikut kabur. Aku jauh lebih gesit karena bisa ngawang! Aku sampai lebih dulu di sofa dan meringkuk duluan.

Tanpa menceritakan lebih panjang lagi, aku ingin masuk ke bagian paling menyebalkan saja!

Kurang lebih beginilah siklus adegan yang kulihat: si Aku 12 mati suri. Setelah menyantap sepinggan nasi, ia memutuskan tidur. Sialan, aku ditinggal sendirian! Tidurnya menyerupai orang mati.

Aku menutup wajah seharian penuh. Tak kuasa aku melihat trio setan utama yang menduduki wilayah ruang tamu. Terutama yang terdekat—si Guci yang diam saja di pojokan pintu. Belum lagi si Melata yang aktif merayap. Lalu si Rambut Menjuntai ... aku belum tahu tahu wajahnya—lebih baik tidak pernah sama sekali!

"Secinta itu kau dengan ibumu." Si Melata itu kembali mengajak bicara. Dari sela-sela jemariku, Melata menempel di langit-langit, tepat di samping Rambut Menjuntai. "Karena saking manisnya cintamu, rasanya jadi busuk."

Aku semakin meringkuk di samping Aku 12. Hari itu menjelang sore, tetapi anak ini tidak segera bangun.

"Kekeke aku mulai melihat kau semakin busuk, sama sepertiku," ujarnya terdengar bangga. Lagaknya seperti hendak mengarah kemari. "Sudahlah, kau tidak akan bisa kembali."

Tapak kaki dan tangan beradu meniti langit-langit dan dinding, lalu mengetuk lantai. Aku merapatkan kedua tangan di wajah. Jemariku tidak bisa menangkal tajamnya bau anyir darah. Mungkin ia berada tepat di depan wajahku, soalnya napas panasnya tepat meniup jemari-jemariku. "Kita bisa bersandingan di rumah ini," lirihnya. "Kau dan aku selamanya."

Aku tidak mampu lagi menahan tangisku.

Suara melata itu mulai menjauh. Di sisi lain irama ketukan sepatu datang dari luar "Kau sudah cuci piring, 'kan?" Itu suara Ibu mengucapkan salam.

Aku membuka pelan-pelan bekapan di kedua mata, kemudian mengerjap hati-hati. Ibu duduk di samping si Aku 12 yang tertidur pulas. Ibu menggeleng-geleng. "Dasar anak nakal, piringnya belum dicuci ternyata." Ibu mengusap kepala Aku 12 begitu pelan dan tenang. "Nak, bangun, sudah sore ini," katanya mengalun halus.

Sudah berapa lama aku tidak mendengar suara Ibu? Kerut di dahi wanita ini seperti bertambah, beberapa surai rambutnya berubah keperakan, namun suaranya masih tetap halus terdengar. Telunjukku terulur menyentuh pipi lelahnya, namun malah tembus pandang begitu saja. Ketakutan yang tadi menjalar seketika berubah saat Ibu datang.

Raut tenang Ibu tak bertahan lama. Alisnya bertemu, menampilkan lebih banyak kerutan "Nak?" Ibu menepuk pipi Aku 12. "Hei, bantu Ibu cuci piring." Ibu menggoyangkan pundaknya, namun Aku 12 ini tak kunjung bangun.

The Crying WhalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang