18

901 205 5
                                    

Alur berganti menjadi keriuhan karena pembagian kelompok. Aku melihat sekeliling. Kelas-kelas dihias origami burung bangau, membingkai jendela dan dinding dengan ragam warna. Kelas menjelma menjadi seribu bangau yang siap terbang ke angkasa.

Aku masih sangat ingat situasi ini. Kelas dibagi menjadi enam kelompok, aku harus masuk ke salah satunya. Tanpa bisa mengelak, aku sekali lagi sekelompok dengan Camel. Ini gara-gara Amu yang sengaja memasukkan kami berdua di kelompok yang sama.

Ia berharap aku dan Camel bisa saling mengenal. Padahal hal yang tidak diinginkan bakal terjadi. Bukan main merah padam wajah Aku 12, lebih-lebih ia ditempatkan tepat di samping Camel.

Seharusnya saat itu, Aku 12 bisa beli jajan karena sudah masuk jam istirahat, tetapi tugas kelompok Kimia sangat berat sampai menyita lebih dari dua jam pelajaran. Lebih-lebih gurunya ingin tugas dikumpulkan hari itu juga.

Di sela-sela mengerjakan soal, Camel mulai meluncurkan amunisinya, "Katanya di SMP, kamu kena kasus itu, ya? Karena banyak orang yang enggak toleran dengan apa yang kamu lakukan, akhirnya kamu dan mamamu pindah ke luar kota padahal pas itu kamu masih kelas dua SMP." Camel memangku dagunya, ia kembali melanjutkan obrolann dengan santai. "Aku enggak tahu kenapa tiba-tiba kamu bisa masuk sekolah ini—"

"Kamu udah bilang ini bolak-balik," sahut Aku 12. Tangannya mulai gatal. "Itu salah paham. Polisi udah menengahi."

"Tapi sudah kepalang basah. Sedari dulu imejmu enggak pernah bagus, makanya sekali kena kasus kesannya cocok-cocok aja. Seandainya kamu gak pergi ke pantai, enggak bakal kejadian aneh-aneh."

Daripada menanggapinya, Aku 12 kembali mematut diri dengan tugas Kimia. Sepertinya delapan soal tersisa berhasil menarik perhatian Aku 12 lebih kuat.

Seakan tidak suka diabaikan, Camel kembali bertanya, "Kalau nanti daftar kuliah, formulir bagian nama ayah mau kamu tulis apa?"

Aku 12 langsung melirik tajam, sedangkan Camel merasa seolah-olah sedang menanyakan harga cabai di pasar. Anak itu kembali menyambung obrolan. "Aku udah lama banget cari info seputar kamu. Emang dasarnya kamu enggak punya ayah, 'kan, ya?" Anak Dajjal menatap tepat di kedua mata Aku 12. "Itu karena ibumu jalang pelacur dari rumah bordil—"

Aku 12 membogem tepat di wajah Camel. Perempuan itu terjungkal ke lantai. Anak-anak perempuan memekik. Aku 12 menindihnya dan kembali membogem wajah Camel. "Ngomong apa kamu, Sialan!"

Orang-orang menarik kedua lengannya, menarik Aku 12 menjauh. Namun Aku 12 tidak tinggal diam, ia menendang wajah Camel dengan kaki, berlanjut ke dada dan punggung. "Ngomong apa kau, Bajingan! Aku bahkan enggak pernah nyinggung ibumu!"

Aku bersumpah mendengar teriakan Aku 12 menggelegar. Kedua matanya bengis. Mulutnya tidak berhenti mencaci maki Camel yang terentang tidak berdaya. Wajahnya hancur, lebam sana-sini, dan hidungnya berdarah.

Orang-orang di luar kelas berdatangan. Mereka melihat dari balik jendela dan pintu. Aku 12 ditarik mundur oleh beberapa laki-laki, sementara mulutnya masih terus berteriak. Dari wajahnya yang tertutup siluet tubuh orang-orang, kulihat mata Aku 12 berair. Tatapannya garang dan lemah secara bersamaan. "Tahu apa kau soal Ibu!"

Sosok Ibu kembali menyusup di kepalaku. Wanita itu ... aku berusaha menahan amarah saat orang-orang menghinaku cabul, tetapi tangan ini tidak mampu bertahan ketika mereka menghina Ibu. Bagaimanapun, mereka tidak tahu apa-apa.

Aku berjongkok. Kututup kedua mata dan telinga. Aku tidak mau melihat atau mendengar keriuhan yang semakin intens. Aku mengingat-ingat roman muka Ibu yang mulai memudar di ingatan. Aku ingin semua adegan ini usai lalu kembali pulang ke rumah.

Keramaian itu mulai memudar, tak kudengar lagi suara orang saling bersahutan. Perlahan bunyi rintik hujan menyusup ke telinga. Rintikan yang lirih itu mulai keras dan menjadi jelas. Saat kubuka mata, kelas yang selalu cerah karena sinar matahari mendadak gelap diselubungi mega mendung. Hujan turun deras sekali, angin menggerakkan arah turunnya hujan. Airnya berdentam-dentam memukul jendela.

The Crying WhalesWhere stories live. Discover now