16

1.1K 195 6
                                    

Kepergian Tuyek masih lama, nanti ia bakal pergi begitu saja. Tapi itu nanti, masih ada banyak hal yang belum kuceritakan. Sebelumnya, mari kupersingkat lagi julukan 'si Aku Kelas 10' menjadi 'Aku 10' untuk mempermudah penyebutan.

The Crying Whales

Berhubung tidak dapat kembali secara instan, aku terpaksa menetap di kelas—menyaksikan si Aku 10 yang diam-diam saja di bangkunya. Ia mengabaikan Camel seratus persen. Jujur saja tindakan ini antara menyebalkan dan menyenangkan. Menyebalkan karena ternyata seapatis itu diriku dengan orang-orang kelas, menyenangkan karena Camel kesal diabaikan.

Kuakui wajah plus Camel adalah senjata magis bagi banyak orang (terutama laki-laki), tapi aku bersumpah ia perempuan paling tidak tahu tata krama. Kemungkinan di SMP ia sudah terdidik menjadi perundung beken. Anak ini tidak akan tinggal diam sebelum tahu riwayat hidupku.

Melalui sudut pandangku, latar tempat berubah seperti pergantian teater. Perlahan tapi pasti, benda dan orang berganti. Aku, si pengamat, tepat berada di tengah-tengah situasi janggal ini.

Orang-orang yang berseragam putih abu-abu berubah mengenakan batik. Yang semula saling canggung di awal perkenalan, kini berganti menemukan grupnya masing-masing. Satu-satunya yang tidak banyak berubah adalah si Aku 10 yang masih diam di tempat, menikmati kotak masakan Ibu.

Camel kali ini mengubah strateginya. Anak itu mengajak si Aku 10 makan siang di kantin ... ah tanpa harus menunggu ajakan Camel, aku lebih dulu tahu apa yang akan terjadi.

"Di kantin makanannya enak-enak, lho. Enggak mau ke sana bareng aku?" Aku bersumpah kau tidak akan bisa mengira anak ini bakal jadi perundung beken. Kesan pertamanya sangat bagus, banyak anak yang tertarik dengannya. Cuma aku yang paling tahan mengabaikan.

"Kamu bisa makan bekalmu di sana, kok," rayunya sekali lagi. "Kita makan bareng."

Seandainya tidak ada aku yang menjelaskan semua adegan ini, kalian mungkin mengira si Aku 10 adalah tokoh paling tidak tahu sopan santun. Si Aku 10—yang seperti batu—bahkan tidak sudi menatap Camel. Tangannya terlalu sibuk membelah daging ayam, mulut penuh dengan nasi, belum lagi mata yang tidak bisa lepas dari gawai.

Camel adalah serangga pengganggu yang berambisi memamerkan kelebihannya di depan orang-orang. Begitu tahu diriku malah tidak acuh dengan perlakuannya, Camel jadi sebal sendiri. Tapi mulut perempuan itu masih diam. Ia melengos dan pergi ke kantin, terdengar ia mencibir betapa sombongnya si Aku 10.

"Aku memang sesombong itu," mulut si Aku 10 mengiyakan.

Aku menyeringai, kulipat tangan di depan dada sambil manggut-manggut. Yeah, aku memang sesombong itu. Bagi yang tidak berkepentingan, sudah pasti kuabaikan eksistensinya. Sepopuler Camel sekalipun, ia tidak lebih sebutir debu di pojokan tembok, tidak terjamah bahkan oleh sapu-sapu kelas.

Adegan berubah begitu ringkas. Aku seperti menonton film kilas hidup langsung di tempatnya. Jam di dinding berputar begitu cepat, orang-orang kelas mengganti seragam dengan kaos olahraga. Aku yang tadi asik makan, tahu-tahu sudah mengeratkan tali sepatu. Semua orang keluar kelas, seingatku mereka sepertinya menuju ke lapangan.

Aku mengekori orang-orang ini. Kugigit jempol sampai patah kukunya. Nanti kalau melalui koridor yang selalu gagal kulewati, apa nanti aku bakal terlempar dan mengulang adegan dari awal lagi?

Namun semuanya terjawab dengan instan.

Kami melintasi koridor tersebut, ada Tuyek menyapa. "Jadi apa yang kau dapat?" tanyanya saat berpapasan denganku

Aku melirik koridor nun jauh di mata, sudah tidak ada tirai hitam pekat yang membatasi pergerakanku. Aku menunjuk ke arah koridor tersebut. "Ka-kau lihat itu, Yek?"

The Crying WhalesWhere stories live. Discover now