36

846 156 6
                                    

Miya bersumpah tidak akan menceritakan apa yang ia ketahui pada siapa pun. Ia juga berjanji akan bersikap biasa saja selama di perkuliahan. Miya berutinitas pada umumnya, melawak seolah tak terjadi apa-apa, dan bersikap bodo amat bila dibantai dosen.

Namun di balik itu semua, bertambah seseorang selain Diko yang membanjiri pesan singkatku. Miya sempat bertanya berapa usia kehamilanku. Aku tidak benar-benar tahu, maka kujawab mungkin enam atau tujuh minggu.

Miya selalu menawarkan diri bila ada bantuan darurat. Gadis itu baik sekali. Tak pernah aku merasa pertemanan bisa semanis ini. Di tengah-tengah teman kuliah yang mengejar nilai dan masa depan, ada orang rela menemani tanpa sedetik pun memandangku rendah.

Suatu waktu aku sempat dicurigai betapa seringnya memakai jaket dan jauh lebih murung. Perubahan sikap yang sedrastis itu sangat wajar. Aku dapat memaklumi. Miya menjawab santai kalau aku punya banyak koleksi jaket menganggur yang ingin dipakai. Kemurunganku juga karena Miya yang tidak segera bayar hutang. Ia menjelek-jelakkan dirinya untuk diriku.

Aku tersenyum lemah kepadanya. Ucapan terima kasihku mengalir setiap hari di waktu kami bertemu langsung atau melalui gawai. Miya jijik. Ia ingin menyentil dahiku kalau aku berkata terima kasih lagi. Sebagai penutup hari yang panjang, ia bilang akan selalu ada di dekatku. Jika aku tidak mau menggugurkan kandungan, Miya menyarankan aku untuk mulai memeriksakan kandungan.

Aku mengusap perutku yang agak menggelembung ini. Aku---mungkin saja---selama ini tertidur dalam keadaan menyentuh perut. Terkadang aku jadi lebih dramatis setiap melihat sesuatu yang berhubungan dengan bayi. Semisal saja apakah aku bisa bermimpi bertemu dengan calon anakku?

Akan tetapi kutahu itu hanya angan-angan saja. Faktanya aku mengulangi mimpi buruk yang sama—kali ini dengan rangkaian lebih lengkap. Seringkali aku berpikir kalau itu sebuah pertanda buruk.

Aku masuk ke dunia suram di mana gedung-gedung tak berpenghuni menyapa dalam diam. Hujan deras mengguyur tanpa ampun. Ia semata-mata turun sekadar memekakan telinga dan membutakan mata. Kendati begitu, kakiku pantang berhenti seakan-akan ia memiliki jiwa dan sudah tugasnya mengantarku ke sana.

Setelah melalui perjuangan berlari tanpa arah, tibalah aku di sebuah perkampungan kecil. Tempat itu bagai sebuah lampu di tengah-tengah gelapnya malam. Uniknya setiap rumah punya toko. ‘Kan lucu hidup di kota tak berpenghuni malah jualan baju dan jajan. Dari mana mereka mendapat uang?

Dari berbagai macam toko, ada satu yang tampilannya cukup heboh. Itu sebuah toko kue bercat dinding saling tabrak. Pajangannya tertulis ‘BUKA 24 JAM!’, papan menu mentereng, lampu disko berjajar, dan keset welcome selebar dua orang bila dijajar macam pepes ikan.

Aku sangat penasaran dengan isinya. Bagian dalam toko lebih banyak lagi barang dijajar. Tapi tahu-tahu aku dibangunkan Mama. Mulanya aku tidak kecewa karena toh itu mimpi biasa.

Tapi seringnya bermimpi berada di tempat yang sama membuatku keheranan. Jangan-jangan ini memang pertanda. Yang membuatku kesal adalah saat diberi mimpi serupa, Mama membangunkanku tepat saat aku menyentuh gagang pintu. Seolah-olah aku hanya diizinkan berkeliling tanpa harus masuk ke dalam tokonya.

Pernah pula aku mengawali mimpi dengan berjalan ke suatu hutan pinus. Lagi-lagi di tengahnya ada sebuah tempat yang tidak seharusnya berada di sana. Itu sebuah taman, namun semua bunganya hitam. Di sanalah aku bertemu seorang pria. Ia seperti ingin berinteraksi denganku. Namun dalam sekedipan mata, aku kembali ke reruntuhan kota.

Hari demi hari berlalu, tetapi mimpinya selalu berpusat di tempat yang sama. Kadang jika bukan disuguhkan reruntuhan dan hutan pinus, aku akan diberi mimpi paus terbang di atas langit. Aku bersumpah paus itu besarnya menyamai gedung! Paus itu berlalu begitu saja, entah menuju ke mana.

The Crying WhalesWhere stories live. Discover now