37

708 154 26
                                    

Sosok di depan cermin ini bukanlah diriku. Seingatku aku berambut lurus, sedikit melengkung di ujungnya. Tetapi tubuh Esti yang kurasuki ini memiliki rambut panjang bergelombang. Sepasang matanya besar seperti boneka yang sering kutemui di toko-toko. Ia cantik, kuakui.

Lucu rasanya menganggap aku bukanlah diriku sendiri. Agak membingungkan, tapi realitanya hidup yang kujalani ternyata milik orang lain. Tangan dan kaki yang kugerakkan milik individu lain. Setiap tarikan napas milik orang lain. Sapaan ramah orang-orang bukan ditujukan untukku. Kehidupan keluarga yang harmonis ... tentu milik Estiana.

Orang yang kusebut "Mama" bukanlah ibuku. Ia suka menjahit dan menyulam di sofa, terkadang jahil menggeliti saat aku lengah. Wanita anggun itu suka memeluk dan mengelus sambil berkata, "Kamu kenapa?". Dan dia bukan siapa-siapaku

Pria yang kupanggil "Papa" bukanlah ayahku. Selama aku hidup, tak pernah sekalipun kulihat batang hidung ayah kandungku. Saat pria yang kusebut "Papa" memeluk dan mengucapkan puluhan kata bangga, sejatinya itu semua untuk Esti semata--bukan untukku.

Siapalah aku? Selama ini mencari cara agar bisa masuk ke dalam portal hitam, ternyata ini yang kudapat: menjalani kehidupan baru di wadah yang baru pula. Samar-samar ingatan Esti berbaur dengan ingatanku. Aku terlalu larut sampai lupa jati diriku yang berbeda 180 derajat dengannya.

Betapa cerianya Estiana. Puluhan orang di hidupnya suka dengan gadis ini. Akademiknya gemilang, piala berjajar di setiap sudut rumahnya. Betapa tidak masuk akal sosoknya.

Kuraih salah satu pialanya yang memenangkan lomba bercerita. Ini adalah prestasinya semasa SD, belum lagi jajaran penghargaan berturut-turut setiap naik kelas. Permukaan pialanya memantulkan wajah Estiana, bukan wajahku. Siapa sangka aku yang belum sadar bisa memposisikan diri sebagai Estiana

Esti yang sempurna. Ia cantik, mudah berbaur, dan punya sahabat yang rela menjadi tukang ojek 24 jam. Memiliki seorang sahabat seperti Miya adalah hal yang mustahil di hidupku. Sulit membayangkan diriku mendapatkan kawan. Hanya di sini aku bisa mendapatkannya.

Miya rutin mengunjungiku. Ia datang ke kamar dan mengelus perutku. Gadis ini bertanya banyak hal sampai aku berada pada titik di mana ia sangat peduli denganku tanpa pamrih. Aku mulanya tersenyum, lalu menggeleng kuat sekali. Sesungguhnya semua ini untuk Estiana dan bayinya, bukan untukku.

Selama ini mana pernah gawaiku diisi pesan? Kalau bukan dari panggilan sekolah atau grup kelas, mana mungkin aku cek pesan dari Diko. Dasar pria yang malang sekaligus kurang ajar, ia kelimpungan meminta maaf dan berjanji akan bertanggung jawab pasca aborsi. Ia masih kukuh mempertahankan keinginannya. Yang kulakukan hanya tersenyum membaca semua pesan itu.

"Sikapmu aneh lagi," ketus Miya. "Kemarin-kemarin lupa ingatan, sekarang senyum-senyum enggak jelas baca pesan stres dari Diko. Kamu kepentok apa, sih, Esti?"

Ia jengkel, tetapi aku menikmati itu. Mana pernah aku mengajak seorang teman di kamar dan berbagi cerita? Selama ini aku sangat menutup diri, mendapatkan teman adalah hal yang tidak mungkin. Kehadiran Miya di sini terasa baru dan menyenangkan.

Wanita yang kusebut "Mama" itu susah payah membuatkan roti dan es teh untuk kami berdua. Miya mengucapkan beribu-ribu terima kasih sambil menggasak setengah roti. Mama yang antusias akan segera menyelesaikan semua rotinya.

Pria yang kupanggil "Papa" juga baru saja menelpon. Ia akan pulang telat, jadi tidak perlu repot-repot menyiapkan makan malam. "Iya, Papa, hati-hati di jalan, ya."

Papa ... tidak pernah aku menyebut kata semesra itu di rumahku sendiri.

Estiana ... ternyata aku hidup di dunia yang aku idam-idamkan. Sayangnya semua kemanisan ini diperuntukkan dirimu semata. Sementara itu aku punya seorang ibu yang selama ini selalu berada di sisiku. Sejatinya selama ini aku berjuang untuknya. Tapi sekarang aku tersesat di tubuhmu.

The Crying WhalesWhere stories live. Discover now