32

818 176 9
                                    

Semuanya gelap. Tidak ada setitik cahaya yang menghampiri bola mata. Saking gelapnya, aku tak mampu melihat tangan dan kaki. Yang bisa kulakukan meraba saja. Jemari-jemariku merayap, menjajaki setiap inci permukaan yang kutapaki.

Namun nihil, tiada lantai yang menjadi pijakan. Aku seperti terawang-awang di udara. Kukira aku bakal jatuh dan terbanting seperti yang sudah-sudah, tetapi berlama-lama menanti tetaplah aman saja—antara aman atau tidak aman sebenarnya.

Tempat macam apa lagi ini? Tidak ada yang bisa kuraba, sebab semuanya kosong. Aku takut kalau mataku diambil. Atau lebih parahnya nyawaku telah diambil. Misi yang selama ini kulakukan belum usai.

Aku berteriak, suaraku menggema. Layaknya berada di ruangan luas tanpa benda apa pun, suaraku menggema. Aku mencoba meminta tolong, tidak ada yang menyahut. Dalam keadaan buta, aku mencoba melangkah hati-hati sambil berjongkok rendah macam nenek-nenek.

Lantas datanglah ketukan sepatu. Itu terdengar seperti tapal kuda yang dipasang di sol sepatu, terdengar lantang dan menggema heboh. Perlahan bunyi sepatu mereda, tergantikan oleh seberkas cahaya yang menyinari. Ruangan kosong ini sedikit demi sedikit menjelma menjadi sekumpulan pepohonan yang mengitariku.

Mataku menangkap sesosok pria gagah bertudung hitam sedang mengarah kemari. Kupikir itu Setan Ganteng, tetapi warna kedua matanya bukan hijau neon. Saat jarak kami hanya terpaut sedepa, baru kulihat jelas matanya murni berwarna hitam. Kebetulan juga model rambutnya macam orang yang kukenal betul. "Kaukah itu, Sasuke?"

Ia tergelak kecil. "Aku bukan kartun tontonanmu itu."

Jujur aku terkejut. Bagaimana ia bisa tahu aku suka nonton Naruto? "Lalu siapa kau?"

Ia menundukkan kepala, memberi hormat padaku yang bukan siapa-siapa. "Aku adalah bagian dari dirimu."

Aku mencoba mengingat-ingat. Sepertinya kalimat itu pernah diucapkan oleh seseorang berbadan bongsor dengan wajah keriput seratus tahun lebih tua. "Kamu seperti Nebo juga?"

"Si Penjaga Jiwa? Bukan. Aku itu bukan entitas yang berasal kumpulan serpihan kecil jiwa tersesat. Aku itu benar-benar bagian dari dirimu. Kalau kau tidak ingat, aku adalah sosok yang berkata:

Jika bukan karena biaya SPP, aku tidak akan sudi datang kemari. Itu lebih terdengar seperti: jika bukan karena Ibu, aku tidak akan sudi bersekolah.

Kalau benar begitu memangnya kau mau apa?

Masih untung aku tidak menyebutmu anjing!

Jangan ajak aku mengobrol, anak sialan!

Wali kelas ikut campur!

Ludah-ludah penjilat sepertimu, misalnya.

Sialan antek-antek Camel!

Kau suka taman buatanku?

Aku seperti pernah mengingatnya, terutama kalimat terakhir itu. Tetapi ingatanku jadi samar-samar. Aku cukup cemas dengan keadaan ingataku sekarang. Takutnya isi kepalaku tinggal separuh. Aku sepertinya telah mengalami banyak hal, tetapi tak mampu mengingat keseluruhan. "Kau bagian dari diriku yang mana?". Sumpah memoriku dipangkas habis-habisan.

"Aku mengerti kondisimu. Mari kuajak berkeliling."

Aku sama sekali tak mengenalnya, tetapi bukan berarti aku langsung menolak ajakannya. Mungkin karena pria di depanku ini memang bagian dari diriku, jadi aku mengikutinya. Kami semakin dalam memasuki hutan.

Seiring waktu, pohon-pohon heterogen diganti oleh pasukan pinus. Kabut dari antah berantah berdatangan, ia membatasi jarak pandang. Tidak ada gunanya dikibas-kibaskan, kabut itu seperti akan selamanya berada di sana. Beruntung jalan yang dilewati sudah dipaving. Kata pria di sampingku, jalan paving meliuk ini akan membawa kami ke tamannya.

The Crying WhalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang