Part 6

676 84 35
                                    

Malam semakin larut. Udara dingin di puncak menerpa bebas apa pun yang di sana. Meskipun begitu, Jeslyn dan Kevin tetap bertahan berbaring di tikar yang mereka lentangkan di depan tenda. Suasana hening, sunyi, sepi, terasa begitu damai.

Di sana tidak hanya mereka berdua. Ada beberapa tenda yang berdiri di tanah lapang khusus camping. Namun, para penghuninya telah masuk ke tenda masing-masing. Mungkin menghindar dari dinginnya udara.

"Andai hidup sedamai ini, pasti tidak ada kata patah hati ya, Kev?" Jeslyn membuka pembicaraan setelah sibuk dengan pikirannya. Tatapan lurus ke atas. Gemerlap bintang sangat menarik untuk diperhatikan.

"Lo sadar gak, sih. Sebenarnya lo sendiri yang nyiptain patah hati itu ada, bukan orang lain," balas Kevin lirih. Ia juga menatap bintang yang berhamburan bebas. "Gue tahu, lo masih shock dengan kenyataan bahwa Devon memiliki hubungan dengan sepupu lo. Kalau gue yang di posisi lo, gue juga akan merasakan hal yang sama. Patah hati tentunya," lanjutnya.

"Iya. Itu yang gue rasain. Shock berat. Seperti ada yang menghantam dada gue sangat keras sampai bikin sesak." Jeslyn menjeda ucapannya. Ia semakin mengeratkan tangan yang mendekap tubuhnya sendiri. "Jujur, Kev, gue belum bisa nerima kenyataan kalau Devon jadian sama si ular. Gue bingung harus bersikap bagaimana. Mau terlihat baik-baik saja, tapi terlalu sakit. Mau memperlihatkan kecemburuan gue, tapi kek childish banget. Seperti sekarang ini, gue ngerasa childish banget di hadapan Devon."

"Itu proses untuk lo bersikap dewasa, Jes."

"Gue udah didewasakan oleh keadaan sejak kecil." Jeslyn membalas cepat. "Sejak Mama ninggalin gue, Papa yang mengabaikan gue, terus Devon yang ninggalin gue ke luar negeri. Did you know, hati gue kosong tanpa mereka, Kev."

"Tapi, lo masih punya orang tua angkat yang sayang sama elo." Kevin menoleh menatap Jeslyn. Pandangan gadis itu masih lurus ke langit gelap.

"Emang. Mama Mira dan Papa Richard sayang sama gue. Mereka tetangga yang lebih mengerti gue daripada Papa. Tapi, rasanya tetap beda, 'kan? Gue harus terlihat ceria dan bahagia di depan mereka, dan menutupi kerapuhan hati gue agar mereka enggak sedih. Dan yang mengerti perasaan gue luar dalam hanya Devon. Makanya gue naruh harapan besar sama dia. Gue jatuh cinta sama lelaki yang selalu ada untuk gue sejak dulu."

"Tapi, lelaki itu hanya nganggap lo adik. Lo harus sadar untuk itu."

"Iya. Tapi, hati gue ...." Jeslyn memukul dadanya pelan. "susah banget untuk diajak kompromi. Sudah jelas-jelas gue ditolak berulang kali, tapi tetap aja masih berharap besar. Emang tolol banget ya, gue. Seperti kata elo." Jeslyn terkekeh miris.

Kevin diam sejenak. Ia paham apa yang dirasakan Jeslyn. Gadis itu butuh penyesuian diri dari kondisi sekarang, tapi tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi Devon cinta pertamanya, pasti akan sulit untuk melepas atau melupakan. Meskipun suatu hari nanti Jeslyn bisa melepas Devon, sisa rasa itu masih tetap ada. Ya, sekeras-kerasnya perempuan, mereka tetaplah makhluk Tuhan yang memiliki hati lembut dan perasaan peka. Contohnya Jeslyn, keras di luar, rapuh di dalam. Dia juga perempuan biasa yang bisa jatuh cinta.

"Mumpung lagi di tempat sunyi dan sepi, coba renungin hati lo. Coba gunain logika lo untuk berpikir lebih jernih."

Jeslyn menoleh menatap Kevin tak berkedip.

"Genggam tangan gue." Kevin mengangkat tangan kirinya.

Jeslyn menurut saja. Ia mengulurkan tangan kiri, lantas menggenggam tangan Kevin.

"Pejamin mata lo, dan renungin apa pun yang ada di hati serta pikiran lo."

Jeslyn mengangguk. Ia menghadap atas, lalu memejamkan mata. Dalam diam, benaknya mulai penuh dengan bayangan Devon, papa, dan mamanya. Ia berpikir mereka telah jahat kepada dirinya. Membiarkannya melangkah sendiri, tanpa genggaman, ketika terjatuh ia dipaksa bangkit sendiri dengan luka-luka yang tercipta nyata. Mereka semua abai. Tidak ingin tahu bagaimana kondisinya.

IMPOSSIBLE (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang