Part 8

727 91 18
                                    

Hidup harus tetap berlanjut. Apa pun masalahnya manusia tidak bisa menghindar ketika sudah menjadi takdir. Masalah lama berlalu, kemudian berganti masalah baru tanpa ditahu. Seperti roda yang terus berputar, pasti akan ada masanya di puncak. Jeslyn percaya itu. Maka dari itu ia tidak perlu takut untuk melangkah, malawan arus yang menerjang bebas. Dalam hati, ia percaya bisa melewati susahnya sekarang. Namun, Jeslyn tetap lah manusia biasa yang kapan saja bisa tumbang.

Duduk di tepi ranjang kamarnya, Jeslyn memandangi foto mamanya di figura yang digenggam. Ia tersenyum lembut, menyembunyikan kesakitan rasa yang masih tersisa.

"Papa baru memarahi Jes, Ma. Tapi, Jes baik-baik saja, kok. Mama, tidak perlu khawatir di sana, ya. Jes, 'kan, anak kuat," gumam Jeslyn. Ia mengembangkan senyum, meskipun mata berkaca-kaca. Ia berusaha memperlihatkan jika dirinya baik-baik saja, tapi tetap saja hatinya sesak.

"Kalau pun Papa tidak sayang Jes, tapi Jes akan tetap sayang Papa. Jes tidak akan pergi dari rumah ini, dan tidak akan membiarkan dua perempuan itu mengacak-acak rumah Mama. Kenangan kita hanya di rumah ini, Ma. Walaupun hanya terlewati selama lima tahun, tapi itu sangat berkesan untuk Jes."

Jemari Jeslyn menyusuri foto mamanya perlahan. Ia memejamkan mata, merasakan kerinduannya yang mendalam. Namun, beberapa detik kemudian, ia terganggu oleh suara perutnya yang berbunyi. Ia tidak jadi makan tadi, sudah tidak nafsu dan hanya minum untuk melegakan tenggorokannya yang kering.

Jeslyn membuka mata, memangku figura, lalu meraih ponsel di sebelahnya duduk. Waktu telah menunjukkan pukul dua belas malam, tidak berasa ia terlalu lama merenungkan nasib malam ini.

"Lapar juga ternyata." Jeslyn mengusap-usap perutnya. Tidak berpikir panjang, ia menghubungi Kevin. Sepertinya ia sudah bergantung kepada cowok itu. Mau senang atau susah, orang pertama yang diingat hanya Kevin setelah Devon.

"Kenapa lo telepon tengah malam gini? Lo baik-baik saja, 'kan?" tanya Kevin setelah sambungan telepon terhubung.

"Lo lagi ada di mana?" tanya Jeslyn lirih.

"Di basecamp. Lo lagi di mana? Lo baik-baik saja, 'kan? Kenapa suara lo loyo gitu?" Kevin terdengar khawatir.

"Gue baik-baik saja dan gue ada di rumah. Tapi, gue lagi kelaperan. Tadi ribut sama Papa. Biasa, ada yang mancing duluan."

"Jadi, lo belum makan apa pun dari tadi?"

"Belum. Temenin gue cari makan, Kev," pinta Jeslyn agak tak enak hati.

"Mau ke mana?"

"Cari yang masih buka aja."

"Tapi, lo butuh istirahat, Jes. Dari kemarin lo udah capek lahir batin. Nanti biar gue sama anak-anak yang nyamperin ke rumah lo. Mungkin jam satuan baru sampai sana."

"Oke, gak apa-apa. Makasih, ya, Kev," ucap Jeslyn lirih.

"Iya. Kayak sama siapa aja, sih. Kita keluarga, jangan sungkan untuk minta bantuan."

"Iya."

"Ya udah, gue tutup, ya. Gue sama anak-anak otw ke rumah elo."

Kevin memutuskan sambungan telepon. Jeslyn merenung lagi, terdiam dengan benak dipenuhi pikiran macam-macam.

Satu jam kemudian, Kevin dan empat anak AMGOWELLS sampai di depan rumah Jeslyn. Mereka menunggu di depan gerbang, duduk di motornya yang diparkirkan berjajar beratur. Sementara itu, Jeslyn masih turun menggunakan tangga yang dipasang di balkon kamarnya. Pak Satpam membantunya untuk menaruh tangga itu di sana.

Sampai di bawah, Jeslyn langsung menghampiri teman-temannya. Suasana sangat sepi, hanya bohlam jalan dan bohlam teras yang menyala.

"Gue beli nasi goreng untuk elo, sekalian teh botolnya juga. Gak apa-apa, 'kan?" kata Kevin sambil menyodorkan kantong plastik ke Jeslyn.

IMPOSSIBLE (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang